Oleh : Nurmayana Siregar, SE, MSi
A. Pendahuluan
Dalam pertumbuhan dan perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika rumusan kepentingan hidup-bersama di wilayah nusantara diuji dan didewasakan sejak dimulainya sejarah kebangsaan Indonesia. Pendewasaan kebangsaan ini memuncak ketika bangsa ini mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme, yang diakhiri secara yuridisketatanegaraan (18 Agustus 1945) dengan ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam perkembangan selanjutnya ideology Pancasila diuji semakin berat terutama pada tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya sampai dengan saat ini di era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan dengan penerapan Pancasila. Sejak munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang bermultidimensi dan dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan terhadap penerapan Pancasila begitu menguat.
Krisis itu ditunjukkan dengan adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di antaranya seperti pergantian kepemimpinan nasional yang tidak normal, kerusuhan sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral bangsa dilanggar, norma hukum negara tidak dipatuhi, norma kebijakan pembangunan disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela sebagai wujud dari penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis dan menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Melihat kondisi bangsa Indonesia seperti itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasinya.
B. Latar belakang
Perlunya Aktualisasi Pancasila Secara pertimbangan politik, Pancasila perlu diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan mengingat Pancasila sebagai ideologi nasional yang merupakan visi kebangsaan Indonesia (yang membina persatuan bangsa) yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia. Visi kebangsaan dan sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan etika untuk melandasi dan mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy) menuju model desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislative-heavy).
Latarbelakang seperti itu didorong pula oleh realita penerapan Pancasila selama ini yang dipersepsi publik sebagai untuk kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang oleh globalisasi ideologi asing (terutama Liberalisme), yang gagal dalam mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat adanya salah-urus mengelola negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi buruk.
Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan ‘kambinghitam’-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar-negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya ditempa dalam proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila perlu memayungi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing and rebuilding’ Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang juga berlandaskan Pancasila dasar negara.
Melalui UUD 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktek berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif .
Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa keberadaan Pancasila erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan landasan idiil dan konstitusional bagi ketahanan nasional serta merupakan filter untuk tantangan liberalisme-kapitalisme di Indonesia yang semakin menguat.
Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya dampak negatif kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks). Dimensi sosial ekonomi memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan.
Pandangan ini diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campurtangan asing (badanbadan internasional) terhadap perekonomian nasional. Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Di samping itu didorong pula oleh realita tentang bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis-diri (dekadensi moral), krisis kepercayaan, mengalami gangguan (disrupsi) toleransi, masih memiliki kelemahan filsafat-ilmiahnya, serta belum merasakan terpenuhinya harapan bangsa atau lemah aktualisasinya dalam usaha kecil, menengah, dan mikro-pedesaan.
Dimensi lingkungan hidup memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati sila-sila Pancasila serta untuk mengejawantahkan Pancasila yang diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan lingkungan hidup (Sumber Daya Alam: SDA). Demikian pula hal itu diperlukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional serta untuk memperbaiki dampak dari eksploitasi SDA dan lingkungan hidup terutama pada sektor-sektor strategisnya (kehutanan, pertanian, dan pertambangan). Dimensi pendidikan memandang Pancasila perlu diaktualisasikan dengan alasan bahwa ia perlu difahami dan dihayati kembali oleh seluruh komponen bangsa.
Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap nilai-nilai Pancasila sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan diasuh. Di samping itu dalam realita kehidupan sehari-hari selama ini Pancasila telah dijadikan alat-penguasa untuk melegitimasi perilaku yang menyimpang yang tidak mendidik, dihilangkannya Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Pancasila dalam kurikulum nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), hancurnya pembangunan karena moral yang serakah dibiarkan merajalela, serta menguatnya desakan konsumerisme untuk membeli gengsi (kehidupan semu). Dimensi budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan (dikinikan) oleh dan bagi bangsa Indonesia dengan pertimbangan perlunya visi NKRI 2020 untuk menjadi Negara Industri Maju Baru.
Dengan demikian rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Terakhir, dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permata-indah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah perumusannya. Di samping itu Pancasila dan Agama— serta nilai-nilai lainnya—telah membentuk ideologi Pancasila yang bila dijaga dan diimplementasikan dengan baik dan benar maka negara akan tegak dan kokoh. Pertimbangan lainnya adalah karena selama ini terkesan masyarakat telah trauma bila diajak bicara Pancasila karena dianggap Orde Baru.
Selain itu pada pengalaman telah diimplementasikan secara indoktrinatif melalui P-4, yang dalam prakteknya justru Pancasila yang seharusnya berfungsi sebagai perekat bangsa mulai diabaikan, sehingga ada fenomena untuk mendirikan negara dengan prinsip Islam atau dengan ideologi-alternatif lainnya sehingga memicu konflik yang mengatasnamakan agama, etnis, bahkan separatisme yang mengancam NKRI.
C. Esensi Aktualisasi Pancasila
Berdasarkan latar belakang itu, dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila terungkap pikiran-pikiran tentang esensi berupa visi dan mis aktualisasi Pancasila dimasa depan, yang rumusannya ditiga kelompokkan.
3.1 Bidang Politik, Hukum, dan Hankam
Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai penyemangat persatuan dan kesadaran nasional (nasionalisme); yang harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga masyarakat, dan warganegara; tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya; referensi dasar bagi sistem dan proses pemerintahan; yang prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugas-tugas legislatif, eksekutif, dan yudikatif; alat pemersatu/perekat bangsa dan kebangsaan Indonesia; objek kajian dari berbagai sisi dan referensi-pendukung yang berlainan/beragam; serta sebagai rujukan untuk kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan hankam.
Di samping itu, Pancasila sebagai dasar bagi segala pergerakan dan kemajuan bangsa; ruh yang bertahta kuat di dalam hati dan pikiran warganegara; ideologi yang menempatkan bangsa Indonesia sejajar dan berdampingan dengan
bangsa/negara lainnya secara merdeka dan berdaulat; ideologi yang realistis, idealistis, dan fleksibel; dan bukan dijadikan ‘agama sekuler’. Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat :
(a) kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan,
(b) kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, kontrol publik, pemilu berkala, serta
(c) supremasi hukum.
Begitu pula standar demokrasinya yang (a) bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel, (b) berpihak kepada ‘social welfare’, serta yang (c) meredam konflik dan utuhnya NKRI.
3.2 Bidang Sosial Ekonomi, Kesejahtyeraan Rakyat, dan Lingkungan Hidup
Esensi pikiran-pikiran dibidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai nilai dan ruh bagi ekonomi-kerakyatan atas prinsip kebersamaan, keadilan, dan kemandirian; sistem ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar; yang bersasaran ekonomi kerakyatan (agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil; yang memosisikan Pemerintah yang memiliki aset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Di samping itu Pancasila diaktualisasikan sebagai yang mendorong dan menjamin adanya affirmative actions, yaitu :
(a) anak yatim dan fakir miskin dipelihara oleh negara,
(b) setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, serta
(c) tidak ada diskriminasi (positive discriminations).
Untuk ini perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang rumusannya adalah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dirubah), sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Aktualisasinya dalam bidang lingkungan hidup, Pancasila diwujudkan sebagai ruh bagi perundang-undangan bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan lingkungan hidup; yang menegaskan bahwa kualitas lingkungan hidup sangat berkaitan dengan kualitas hidup; yang berwawasan kebangsaan melalui pemeliharaan lingkungan hidup serta pensejahteraan seluruh rakyat secara adil, makmur, dan merata; serta yang dipahami bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup beserta perilakunya. 3.3 Bidang Pendidikan, Budaya, dan Keagamaan Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai landasan idiil bagi pembangunan pendidikan, budaya, dan keagamaan di Indonesia yang menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan, dan ras; ideologi terbuka yang mendorong kreativitas dan inovativitas; spirit untuk pengembangan dinamika masyarakat dalam pembentukkan watak peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; serta visi dan misi pendidikan nasional bagi anak Indonesia.
Problema yang dihadapi berintikan pada masalah kebudayaan, yang pemecahannya secara mendasar adalah melalui proses pendidikan secara menyeluruh. Di bidang budaya, aktualisasi Pancasila berwujud sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan; profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan; proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi; serta penguat kembali proses integrasi nasional baik secara vertikal maupun horizontal.
Di bidang keagamaan, aktualisasi ini berwujud sebagai ideologi yang menerapkan prinsip agama apabila melaksanakan prinsip-prinsip tauhid, keadilan, kebebasan, musyawarah, persamaan, toleransi, amar makhruf dan nahi mungkar, serta kritik interen. Di samping itu Pancasila berwujud sebagai ideologi yang paling memungkinkan bangsa Indonesia bersatu dalam NKRI yang nilai-nilainya universal, yaitu yang sesuai dengan ‘lima tujuan hukum agama’: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta; filsafat dan ideologi yang tidak bertentangan dengan wawasan keagamaan; yang memelihara persatuan-umat, bukan penyatuan-umat; serta yang sebagai hasil kontrak-sosial budaya bangsa Indonesia.
D. Implementasi Aktualisasi Pancasila
Untuk mewujudkan esensi aktualisasi Pancasila, Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik, sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai berikut. Pengembangan model penafsiran yang tidak lagi sentralistik dan formal oleh penguasa/pemerintah sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan kekuasaan. Model penafsiran perlu dirubah menjadi dapat diteliti/dikaji oleh ragam disiplin ilmu dan ragam komunitas pada tataran nilai-nilai instrumental dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai ideologi-terbuka), ditegakkan melalui perilaku keteladanan oleh segenap bangsa, dan dikontro l melalui penegakkan hokum oleh aparat negara.
Pendekatan untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan menerapkannya yang ditawarkan oleh forum adalah pendekatan-kemanusiaan melalui budaya-dialog (tidak lagi semata-mata pendekatan formal kenegaraan); peningkatan kualitas Pusat-pusat Kajian Pancasila; peningkatan kualitas pengelola negara, transformasi kepemimpinan, dan penyempurnaan perundang-undangan; transformasi nilai-nilai Pancasila dengan cara/metode yang terbarukan. Metodenya ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog-budaya (pembudayaan yang menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi interaktif, koordinasi, regulasi, dan keteladanan yang disertai dengan penerapan teknik-teknik ‘reward and punishment’, simulasi (bermain-peran), dinamika kelompok, analisis-kasus, dan seterusnya tetapi tidak melalui teknik-teknik ceramah indoktrinatif, monolog, menggurui, dan seterusnya. Penerapan metode dan teknik kependidikan ini perlu dipahami dalam arti yang luas, yaitu yang tidak sekedar ‘schooling’ tetapi yang lebih penting adalah dalam kerangka pembentukan budi pekerti (akhlak, moral) peserta didik. Sasaran—untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek— untuk implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan, bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi, ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
Contoh implementasi dengan model, pendekatan, metode, teknik, dan sasaran yang direkomendasikan dalam rangka aktualisasi Pancasila adalah seperti dalam pemberian pengertian dan pemahaman kepada semua pihak tentang esensi Pancasila yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan-lokal (keadaban) masyarakat setempat, pelatihan tentang pengembangan jiwa dan perilaku kepramukaan secara massal, penguasaan bahasa asing bagi peserta didik, membudayakan gerakan hidup ber-Pancasila (GHBP), dan lain sebagainya.
E. Tindak lanjut
Untuk menindaklanjuti hal-hal di atas perlu dilakukan hal-hal di bawah ini.
5.1 Untuk Jangka Panjang
1. Uji-riset, yaitu proses klarifikasi dan pengujian hasil rumusan Simselok secara metodologis (ilmiah) dari empiri (lapangan) melalui (a) penelitian ilmiah dan (b) kajian-akademis. Penelitian-ilmiah perlu difokuskan pada masyarakat (sebagai publik), lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan (sebagai komunitas), lembaga-lembaga pemerintahan, serta lembagalembaga negara. Kajian-akademis berupa kegiatan Simposium, Seminar, dan Lokakarya (Simselok) Pancasila di perguruan-perguruan tinggi (PT) dari wilayah lainnya di Indonesia dan peningkatan hasil Simselok se-Indonesia untuk diseminarkan di tingkat nasional.
2. Uji-publik, yaitu proses sosialisasi dan komunikasi hasil rumusan Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila (di tingkat nasional) secara sosialpolitik. Sosialisasi dan komunikasi perlu difokuskan melalui media massa dan elektronik, penerbitan buku, diskusi publik dengan ragam komunitas, dan sebagainya.
3. Uji-regulasi, yaitu proses penyampaian hasil-akhir kepada lembaga-lembaga penentu kebijakan negara (DPD, DPR, Presiden, dan MPR). Yang dalam proses dan substansi pembuatan regulasinya, lembaga-lembaga negara ini agar tetap berkomitmen dan berkonsisten terhadap Pembukaan UUD 1945, keutuhan NKRI, serta kebhinekatunggalikaan Nusantara, dan keadaban Indonesia.
5.2 Untuk Jangka Pendek
1.Merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar mengatur Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah wajib bagi para peserta didik dari tingkat pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi.
2.Sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 (yang sudah dirubah).
3.Pendidikan Pancasila bukan sebagai alternatif tetapi imperatif bagi perguruan tinggi (dan persekolahan lainnya), yang substansi dan orientasinya berbobot pada pendidikan moral dan pendidikan budi-pekerti untuk mewujudkan kesalehan-akademik dan kesalehan-sosial yang berkeadaban Indonesia.
F. Penutup
Masih banyak pikiran/gagasan/pendapat yang dituliskan pada makalahmakalah dan yang diungkapkan dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila yang belum dirumuskan oleh Tim Perumus. Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan cara membaca makalah-makalah dan/atau notulensinotulensi yang dijadikan bahan perumusan ini. Semua hal di atas dalam penerapannya akan banyak ditentukan oleh faktorfaktor komitmen dan tanggungjawab pemerintah, partisipasi masyarakat, serta
semangat dan kesadaran semua pihak untuk mentradisikan perilaku Pancasila secara konsisten. Semoga bermanfaat.
G. Daftar Pustaka
B u k u :
Al-Ghazali, Imam, 1988, Etika Berkuasa: Nasihat-nasihat Imam Al-Ghazali, Penterjemah: Arief B. Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah.
Astrid S. Susanto Sunario, 1999, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Duapuluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. Kompas, 1999.
Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits, Jakarta: Harian Kompas.
Luhulima, James, 2011, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto: dan Beberapa Peristiwa Terkait, Jakarta: Kompas.
Mubyarto, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE.
M a k a l a h :
Astrid S. Susanto Sunario, 2010, Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.
Agus Widjojo, 2019, Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan, Jakarta.
———, 2020, Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat Pancasila tanggal 18 Oktober 2020, Jakarta.
A. Gunawan Setiardja, 2000, Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta. A.T. Soegito, 1997, Pokok-pokok materi: Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Semarang.
———, 1998, Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi Pendidikan Pancasila (Analisis Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.
———, 1999, Nasionalisme Indonesia (Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.
(Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya di BPSDM Provinsi Sumatera Utara, Mahasiswa S-3 di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara)