AKTUALISASI  PANCASILA  UNTUK PERSATUAN  BANGSA

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Oleh : Nurmayana Siregar, SE, MSi

A. Pendahuluan

Dalam pertumbuhan dan perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika rumusan  kepentingan hidup-bersama di wilayah nusantara  diuji dan  didewasakan  sejak  dimulainya  sejarah kebangsaan  Indonesia. Pendewasaan  kebangsaan  ini  memuncak  ketika  bangsa ini mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme, yang diakhiri secara yuridisketatanegaraan (18 Agustus 1945)  dengan ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam perkembangan  selanjutnya  ideology  Pancasila  diuji  semakin  berat  terutama pada tataran  penerapannya  dalam  kehidupan  kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Ujian  ini  berlangsung  sejak  ditetapkannya  sampai dengan saat ini  di era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan  dengan  penerapan  Pancasila. Sejak  munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang bermultidimensi dan  dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan terhadap penerapan Pancasila begitu menguat.

Krisis itu ditunjukkan dengan adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di antaranya seperti pergantian  kepemimpinan  nasional yang tidak normal, kerusuhan  sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral bangsa  dilanggar, norma hukum negara tidak dipatuhi, norma kebijakan pembangunan  disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela  sebagai  wujud dari penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis dan  menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Melihat kondisi  bangsa Indonesia seperti itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasinya.

B. Latar belakang

Perlunya Aktualisasi Pancasila Secara pertimbangan politik, Pancasila perlu  diaktualisasikan dalam  kehidupan  kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan mengingat Pancasila  sebagai  ideologi  nasional  yang  merupakan visi kebangsaan Indonesia (yang membina persatuan bangsa) yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia. Visi kebangsaan dan sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan etika untuk  melandasi dan mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy) menuju model  desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislative-heavy).

Latarbelakang  seperti  itu  didorong  pula oleh realita penerapan Pancasila selama ini yang dipersepsi publik sebagai untuk kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang oleh globalisasi ideologi  asing (terutama  Liberalisme), yang  gagal  dalam  mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat  adanya  salah-urus  mengelola  negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi buruk.

Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan ‘kambinghitam’-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar-negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya ditempa dalam proses perjuangan kebangsaan  Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila perlu memayungi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing and rebuilding’ Indonesia dengan berpegangan pada  perundang-undangan  yang  juga  berlandaskan  Pancasila  dasar negara.

Melalui  UUD 1945 sebagai  payung  hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan  agar  dalam  praktek berdemokrasinya  tidak  kehilangan  arah  dan  dapat  meredam konflik  yang  tidak  produktif .

Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa keberadaan Pancasila erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional  Indonesia (TNI), sehingga  pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan  landasan   idiil dan  konstitusional  bagi ketahanan nasional serta merupakan filter untuk tantangan  liberalisme-kapitalisme di Indonesia yang semakin menguat.

Pancasila perlu diaktualisasikan  oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya  dampak  negatif  kebijakan  otonomi  daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman  Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta  disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya  sudah  pada  titik nadir (antiklimaks). Dimensi  sosial ekonomi memandang  perlunya  diaktualisasikan   oleh dan bagi bangsa Indonesia karena  Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan  sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber  sistem  ekonomi  kerakyatan.

Pandangan ini  diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campurtangan asing (badanbadan  internasional)  terhadap  perekonomian  nasional. Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang  memandang  perlunya  Pancasila  diaktualisasikan  oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang  perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Di samping itu didorong pula oleh realita tentang bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis-diri (dekadensi  moral), krisis kepercayaan, mengalami gangguan (disrupsi) toleransi, masih memiliki kelemahan filsafat-ilmiahnya, serta belum merasakan terpenuhinya  harapan bangsa  atau  lemah  aktualisasinya dalam usaha kecil, menengah, dan mikro-pedesaan.

Dimensi lingkungan hidup  memandang perlunya  diaktualisasikan  oleh  dan  bagi bangsa  Indonesia  karena  Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati  sila-sila  Pancasila serta untuk  mengejawantahkan  Pancasila  yang  diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan lingkungan hidup (Sumber Daya Alam: SDA). Demikian pula hal itu  diperlukan   untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional serta untuk memperbaiki dampak dari eksploitasi SDA dan lingkungan hidup terutama pada sektor-sektor strategisnya (kehutanan, pertanian, dan pertambangan). Dimensi pendidikan  memandang  Pancasila  perlu  diaktualisasikan dengan  alasan  bahwa ia perlu difahami  dan  dihayati  kembali oleh seluruh komponen bangsa.

Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap nilai-nilai  Pancasila  sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan diasuh. Di samping itu dalam realita kehidupan  sehari-hari selama ini Pancasila telah dijadikan alat-penguasa untuk melegitimasi perilaku yang menyimpang yang tidak mendidik, dihilangkannya Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan  Pancasila dalam kurikulum nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan  Nasional), hancurnya pembangunan karena moral yang serakah dibiarkan merajalela, serta menguatnya desakan konsumerisme  untuk  membeli gengsi  (kehidupan semu). Dimensi  budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan (dikinikan) oleh dan bagi bangsa Indonesia dengan pertimbangan  perlunya visi  NKRI 2020  untuk menjadi Negara  Industri  Maju Baru.

Dengan demikian rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Terakhir, dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permata-indah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah perumusannya. Di samping itu Pancasila dan Agama— serta nilai-nilai lainnya—telah membentuk ideologi Pancasila yang bila dijaga dan diimplementasikan dengan baik dan benar maka negara akan tegak dan kokoh. Pertimbangan lainnya adalah karena selama ini terkesan masyarakat telah trauma bila diajak bicara Pancasila karena dianggap Orde Baru.

Selain itu pada pengalaman telah   diimplementasikan secara   indoktrinatif melalui P-4, yang dalam prakteknya justru Pancasila yang seharusnya berfungsi sebagai perekat bangsa mulai diabaikan, sehingga ada fenomena untuk mendirikan negara dengan prinsip Islam atau dengan ideologi-alternatif lainnya  sehingga  memicu konflik yang mengatasnamakan agama, etnis, bahkan separatisme yang mengancam NKRI.

C. Esensi Aktualisasi Pancasila

Berdasarkan latar belakang itu, dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila terungkap pikiran-pikiran tentang esensi  berupa visi  dan  mis  aktualisasi Pancasila  dimasa  depan, yang rumusannya ditiga kelompokkan.

3.1 Bidang Politik, Hukum, dan Hankam

Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai penyemangat persatuan dan kesadaran nasional (nasionalisme); yang harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga masyarakat, dan warganegara; tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya; referensi dasar bagi sistem dan proses pemerintahan; yang prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugas-tugas legislatif, eksekutif, dan yudikatif; alat pemersatu/perekat bangsa dan kebangsaan Indonesia; objek kajian dari berbagai sisi dan referensi-pendukung yang berlainan/beragam; serta sebagai rujukan untuk kebijakan  politik, pemerintahan, hukum, dan hankam.

Di samping itu, Pancasila sebagai dasar bagi segala pergerakan dan kemajuan bangsa; ruh yang bertahta kuat di dalam hati dan pikiran warganegara; ideologi yang menempatkan bangsa Indonesia sejajar dan berdampingan dengan

bangsa/negara lainnya secara merdeka dan berdaulat; ideologi yang realistis, idealistis, dan fleksibel; dan bukan dijadikan ‘agama sekuler’. Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat :

(a) kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan,

(b) kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, kontrol publik, pemilu berkala, serta

(c) supremasi hukum.

Begitu pula standar demokrasinya yang (a) bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel, (b) berpihak kepada ‘social welfare’, serta yang (c) meredam konflik dan utuhnya NKRI.

3.2 Bidang Sosial Ekonomi, Kesejahtyeraan Rakyat, dan Lingkungan Hidup

Esensi pikiran-pikiran  dibidang ini  merumus pada aktualisasi Pancasila  dalam wujud sebagai nilai dan ruh bagi ekonomi-kerakyatan atas prinsip kebersamaan, keadilan, dan kemandirian; sistem ekonomi Pancasila yang  menekankan pada harmoni  mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan  pada mekanisme pasar; yang bersasaran ekonomi kerakyatan (agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan  tidak  adil; yang  memosisikan Pemerintah yang  memiliki aset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang  penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Di samping itu Pancasila diaktualisasikan sebagai yang mendorong dan menjamin adanya affirmative  actions, yaitu :

(a) anak yatim  dan  fakir  miskin dipelihara oleh negara,

(b) setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, serta

(c) tidak ada diskriminasi (positive discriminations).

Untuk ini perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang rumusannya adalah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dirubah), sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Aktualisasinya dalam bidang lingkungan hidup, Pancasila diwujudkan sebagai ruh bagi perundang-undangan bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan lingkungan hidup; yang menegaskan bahwa kualitas lingkungan hidup sangat berkaitan dengan kualitas hidup; yang berwawasan kebangsaan melalui pemeliharaan lingkungan hidup serta pensejahteraan seluruh rakyat secara adil, makmur, dan merata; serta yang dipahami bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup beserta perilakunya. 3.3 Bidang Pendidikan, Budaya, dan Keagamaan Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai landasan idiil bagi pembangunan pendidikan, budaya, dan keagamaan di Indonesia yang menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan, dan ras; ideologi terbuka yang mendorong kreativitas dan inovativitas; spirit untuk pengembangan dinamika masyarakat dalam pembentukkan watak peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; serta visi dan misi pendidikan nasional bagi anak Indonesia.

Problema yang dihadapi berintikan pada masalah kebudayaan, yang pemecahannya secara mendasar adalah melalui proses pendidikan secara menyeluruh. Di bidang budaya, aktualisasi Pancasila berwujud sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan; profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan; proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi; serta penguat kembali proses integrasi nasional baik secara vertikal maupun horizontal.

Di bidang keagamaan, aktualisasi ini berwujud sebagai ideologi yang menerapkan prinsip agama apabila melaksanakan prinsip-prinsip tauhid, keadilan, kebebasan, musyawarah, persamaan, toleransi, amar makhruf dan nahi mungkar, serta kritik interen. Di samping itu Pancasila berwujud sebagai ideologi yang paling memungkinkan bangsa Indonesia bersatu dalam NKRI yang nilai-nilainya universal, yaitu yang sesuai dengan ‘lima tujuan hukum agama’: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta; filsafat dan ideologi yang tidak bertentangan dengan wawasan keagamaan; yang memelihara persatuan-umat, bukan penyatuan-umat; serta yang sebagai hasil kontrak-sosial budaya bangsa Indonesia.

D. Implementasi Aktualisasi Pancasila

Untuk mewujudkan esensi aktualisasi Pancasila, Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik, sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai berikut. Pengembangan model penafsiran  yang  tidak lagi sentralistik dan formal oleh penguasa/pemerintah sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan  kekuasaan. Model penafsiran  perlu dirubah menjadi dapat diteliti/dikaji oleh  ragam  disiplin  ilmu  dan  ragam  komunitas pada  tataran nilai-nilai instrumental dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai  ideologi-terbuka), ditegakkan melalui  perilaku keteladanan oleh segenap bangsa, dan dikontro l melalui  penegakkan  hokum  oleh  aparat  negara.

Pendekatan untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan menerapkannya yang ditawarkan oleh forum adalah pendekatan-kemanusiaan melalui budaya-dialog (tidak lagi semata-mata pendekatan formal kenegaraan); peningkatan kualitas Pusat-pusat Kajian Pancasila; peningkatan kualitas pengelola negara, transformasi kepemimpinan, dan penyempurnaan perundang-undangan; transformasi nilai-nilai Pancasila dengan  cara/metode yang terbarukan. Metodenya  ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog-budaya (pembudayaan yang menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi  interaktif, koordinasi, regulasi, dan keteladanan yang disertai dengan penerapan teknik-teknik ‘reward and punishment’, simulasi (bermain-peran), dinamika kelompok, analisis-kasus, dan seterusnya tetapi tidak melalui teknik-teknik ceramah indoktrinatif, monolog, menggurui, dan seterusnya. Penerapan metode dan teknik kependidikan ini perlu dipahami dalam arti yang luas, yaitu yang tidak sekedar ‘schooling’ tetapi yang lebih penting adalah dalam kerangka pembentukan budi pekerti (akhlak, moral) peserta didik. Sasaran—untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek— untuk implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan, bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi, ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.

Contoh implementasi dengan model, pendekatan, metode, teknik, dan sasaran yang direkomendasikan dalam rangka aktualisasi Pancasila adalah seperti dalam pemberian pengertian dan pemahaman kepada semua pihak tentang esensi Pancasila yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan-lokal (keadaban) masyarakat setempat, pelatihan tentang pengembangan jiwa dan perilaku kepramukaan secara massal, penguasaan bahasa asing bagi peserta didik, membudayakan gerakan hidup ber-Pancasila (GHBP), dan lain sebagainya.

E. Tindak lanjut

Untuk menindaklanjuti hal-hal di atas perlu dilakukan hal-hal di bawah ini.

5.1 Untuk Jangka Panjang

1. Uji-riset, yaitu proses klarifikasi dan pengujian hasil rumusan Simselok secara metodologis (ilmiah) dari empiri (lapangan) melalui (a) penelitian ilmiah dan (b) kajian-akademis. Penelitian-ilmiah perlu difokuskan pada masyarakat (sebagai publik), lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan (sebagai komunitas), lembaga-lembaga pemerintahan, serta lembagalembaga negara. Kajian-akademis berupa kegiatan Simposium, Seminar, dan Lokakarya (Simselok) Pancasila di perguruan-perguruan tinggi (PT) dari wilayah lainnya di Indonesia dan peningkatan hasil Simselok se-Indonesia untuk diseminarkan di tingkat nasional.

2. Uji-publik, yaitu proses sosialisasi dan komunikasi hasil rumusan Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila (di tingkat nasional) secara sosialpolitik. Sosialisasi dan komunikasi perlu difokuskan melalui media massa dan elektronik, penerbitan buku, diskusi publik dengan ragam komunitas, dan sebagainya.

3. Uji-regulasi, yaitu proses penyampaian hasil-akhir kepada lembaga-lembaga penentu kebijakan negara (DPD, DPR, Presiden, dan MPR). Yang dalam proses dan substansi pembuatan regulasinya, lembaga-lembaga negara ini agar tetap berkomitmen dan berkonsisten terhadap Pembukaan UUD 1945, keutuhan NKRI, serta kebhinekatunggalikaan Nusantara, dan keadaban Indonesia.

5.2 Untuk Jangka Pendek

1.Merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar mengatur Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah wajib bagi para peserta didik dari tingkat pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi.

2.Sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 (yang sudah dirubah).

3.Pendidikan Pancasila bukan sebagai alternatif tetapi imperatif bagi perguruan tinggi (dan persekolahan lainnya), yang substansi dan orientasinya berbobot pada pendidikan moral dan pendidikan budi-pekerti untuk mewujudkan kesalehan-akademik dan kesalehan-sosial yang berkeadaban Indonesia.

F. Penutup

Masih banyak pikiran/gagasan/pendapat yang dituliskan pada makalahmakalah dan yang diungkapkan dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila yang belum dirumuskan oleh Tim Perumus. Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan cara membaca makalah-makalah dan/atau notulensinotulensi yang dijadikan bahan perumusan ini. Semua hal di atas dalam penerapannya akan banyak ditentukan oleh faktorfaktor komitmen dan tanggungjawab pemerintah, partisipasi masyarakat, serta

semangat dan kesadaran semua pihak untuk mentradisikan perilaku Pancasila secara konsisten. Semoga bermanfaat.

G. Daftar Pustaka

B u k u :

Al-Ghazali, Imam, 1988, Etika Berkuasa: Nasihat-nasihat Imam Al-Ghazali, Penterjemah: Arief B. Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah.

Astrid S. Susanto Sunario, 1999, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Duapuluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. Kompas, 1999.

Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits, Jakarta: Harian Kompas.

Luhulima, James, 2011, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto: dan Beberapa Peristiwa Terkait, Jakarta: Kompas.

Mubyarto, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE.

M a k a l a h :

Astrid S. Susanto Sunario, 2010, Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.

Agus Widjojo, 2019, Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan, Jakarta.

———, 2020, Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat Pancasila tanggal 18 Oktober 2020, Jakarta.

A. Gunawan Setiardja, 2000, Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta. A.T. Soegito, 1997, Pokok-pokok materi: Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Semarang.

———, 1998, Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi Pendidikan Pancasila (Analisis Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.

———, 1999, Nasionalisme Indonesia (Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.

(Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya  di  BPSDM  Provinsi Sumatera  Utara, Mahasiswa S-3  di  Universitas  Islam  Negeri  Sumatera  Utara)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

AKTUALISASI  PANCASILA  UNTUK PERSATUAN  BANGSA

Oleh : Nurmayana Siregar, SE, MSi

A. Pendahuluan

Dalam pertumbuhan dan perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika rumusan  kepentingan hidup-bersama di wilayah nusantara  diuji dan  didewasakan  sejak  dimulainya  sejarah kebangsaan  Indonesia. Pendewasaan  kebangsaan  ini  memuncak  ketika  bangsa ini mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme, yang diakhiri secara yuridisketatanegaraan (18 Agustus 1945)  dengan ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam perkembangan  selanjutnya  ideology  Pancasila  diuji  semakin  berat  terutama pada tataran  penerapannya  dalam  kehidupan  kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Ujian  ini  berlangsung  sejak  ditetapkannya  sampai dengan saat ini  di era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan  dengan  penerapan  Pancasila. Sejak  munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang bermultidimensi dan  dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan terhadap penerapan Pancasila begitu menguat.

Krisis itu ditunjukkan dengan adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di antaranya seperti pergantian  kepemimpinan  nasional yang tidak normal, kerusuhan  sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral bangsa  dilanggar, norma hukum negara tidak dipatuhi, norma kebijakan pembangunan  disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela  sebagai  wujud dari penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis dan  menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Melihat kondisi  bangsa Indonesia seperti itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasinya.

B. Latar belakang

Perlunya Aktualisasi Pancasila Secara pertimbangan politik, Pancasila perlu  diaktualisasikan dalam  kehidupan  kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan mengingat Pancasila  sebagai  ideologi  nasional  yang  merupakan visi kebangsaan Indonesia (yang membina persatuan bangsa) yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia. Visi kebangsaan dan sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan etika untuk  melandasi dan mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy) menuju model  desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislative-heavy).

Latarbelakang  seperti  itu  didorong  pula oleh realita penerapan Pancasila selama ini yang dipersepsi publik sebagai untuk kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang oleh globalisasi ideologi  asing (terutama  Liberalisme), yang  gagal  dalam  mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat  adanya  salah-urus  mengelola  negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi buruk.

Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan ‘kambinghitam’-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar-negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya ditempa dalam proses perjuangan kebangsaan  Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila perlu memayungi proses reformasi untuk diarahkan pada ‘reinventing and rebuilding’ Indonesia dengan berpegangan pada  perundang-undangan  yang  juga  berlandaskan  Pancasila  dasar negara.

Melalui  UUD 1945 sebagai  payung  hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan  agar  dalam  praktek berdemokrasinya  tidak  kehilangan  arah  dan  dapat  meredam konflik  yang  tidak  produktif .

Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa keberadaan Pancasila erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional  Indonesia (TNI), sehingga  pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan  landasan   idiil dan  konstitusional  bagi ketahanan nasional serta merupakan filter untuk tantangan  liberalisme-kapitalisme di Indonesia yang semakin menguat.

Pancasila perlu diaktualisasikan  oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya  dampak  negatif  kebijakan  otonomi  daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman  Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta  disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya  sudah  pada  titik nadir (antiklimaks). Dimensi  sosial ekonomi memandang  perlunya  diaktualisasikan   oleh dan bagi bangsa Indonesia karena  Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan  sistem ekonomi Pancasila serta sebagai sumber  sistem  ekonomi  kerakyatan.

Pandangan ini  diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campurtangan asing (badanbadan  internasional)  terhadap  perekonomian  nasional. Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang  memandang  perlunya  Pancasila  diaktualisasikan  oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang  perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Di samping itu didorong pula oleh realita tentang bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis-diri (dekadensi  moral), krisis kepercayaan, mengalami gangguan (disrupsi) toleransi, masih memiliki kelemahan filsafat-ilmiahnya, serta belum merasakan terpenuhinya  harapan bangsa  atau  lemah  aktualisasinya dalam usaha kecil, menengah, dan mikro-pedesaan.

Dimensi lingkungan hidup  memandang perlunya  diaktualisasikan  oleh  dan  bagi bangsa  Indonesia  karena  Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati  sila-sila  Pancasila serta untuk  mengejawantahkan  Pancasila  yang  diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan lingkungan hidup (Sumber Daya Alam: SDA). Demikian pula hal itu  diperlukan   untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional serta untuk memperbaiki dampak dari eksploitasi SDA dan lingkungan hidup terutama pada sektor-sektor strategisnya (kehutanan, pertanian, dan pertambangan). Dimensi pendidikan  memandang  Pancasila  perlu  diaktualisasikan dengan  alasan  bahwa ia perlu difahami  dan  dihayati  kembali oleh seluruh komponen bangsa.

Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap nilai-nilai  Pancasila  sejak dini dengan cara diasah, diasih, dan diasuh. Di samping itu dalam realita kehidupan  sehari-hari selama ini Pancasila telah dijadikan alat-penguasa untuk melegitimasi perilaku yang menyimpang yang tidak mendidik, dihilangkannya Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan  Pancasila dalam kurikulum nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan  Nasional), hancurnya pembangunan karena moral yang serakah dibiarkan merajalela, serta menguatnya desakan konsumerisme  untuk  membeli gengsi  (kehidupan semu). Dimensi  budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan (dikinikan) oleh dan bagi bangsa Indonesia dengan pertimbangan  perlunya visi  NKRI 2020  untuk menjadi Negara  Industri  Maju Baru.

Dengan demikian rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Terakhir, dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permata-indah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah perumusannya. Di samping itu Pancasila dan Agama— serta nilai-nilai lainnya—telah membentuk ideologi Pancasila yang bila dijaga dan diimplementasikan dengan baik dan benar maka negara akan tegak dan kokoh. Pertimbangan lainnya adalah karena selama ini terkesan masyarakat telah trauma bila diajak bicara Pancasila karena dianggap Orde Baru.

Selain itu pada pengalaman telah   diimplementasikan secara   indoktrinatif melalui P-4, yang dalam prakteknya justru Pancasila yang seharusnya berfungsi sebagai perekat bangsa mulai diabaikan, sehingga ada fenomena untuk mendirikan negara dengan prinsip Islam atau dengan ideologi-alternatif lainnya  sehingga  memicu konflik yang mengatasnamakan agama, etnis, bahkan separatisme yang mengancam NKRI.

C. Esensi Aktualisasi Pancasila

Berdasarkan latar belakang itu, dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila terungkap pikiran-pikiran tentang esensi  berupa visi  dan  mis  aktualisasi Pancasila  dimasa  depan, yang rumusannya ditiga kelompokkan.

3.1 Bidang Politik, Hukum, dan Hankam

Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai penyemangat persatuan dan kesadaran nasional (nasionalisme); yang harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga masyarakat, dan warganegara; tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya; referensi dasar bagi sistem dan proses pemerintahan; yang prinsip-prinsipnya terejawantahkan dalam tugas-tugas legislatif, eksekutif, dan yudikatif; alat pemersatu/perekat bangsa dan kebangsaan Indonesia; objek kajian dari berbagai sisi dan referensi-pendukung yang berlainan/beragam; serta sebagai rujukan untuk kebijakan  politik, pemerintahan, hukum, dan hankam.

Di samping itu, Pancasila sebagai dasar bagi segala pergerakan dan kemajuan bangsa; ruh yang bertahta kuat di dalam hati dan pikiran warganegara; ideologi yang menempatkan bangsa Indonesia sejajar dan berdampingan dengan

bangsa/negara lainnya secara merdeka dan berdaulat; ideologi yang realistis, idealistis, dan fleksibel; dan bukan dijadikan ‘agama sekuler’. Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat :

(a) kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan,

(b) kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, kontrol publik, pemilu berkala, serta

(c) supremasi hukum.

Begitu pula standar demokrasinya yang (a) bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel, (b) berpihak kepada ‘social welfare’, serta yang (c) meredam konflik dan utuhnya NKRI.

3.2 Bidang Sosial Ekonomi, Kesejahtyeraan Rakyat, dan Lingkungan Hidup

Esensi pikiran-pikiran  dibidang ini  merumus pada aktualisasi Pancasila  dalam wujud sebagai nilai dan ruh bagi ekonomi-kerakyatan atas prinsip kebersamaan, keadilan, dan kemandirian; sistem ekonomi Pancasila yang  menekankan pada harmoni  mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan  pada mekanisme pasar; yang bersasaran ekonomi kerakyatan (agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan  tidak  adil; yang  memosisikan Pemerintah yang  memiliki aset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang  penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Di samping itu Pancasila diaktualisasikan sebagai yang mendorong dan menjamin adanya affirmative  actions, yaitu :

(a) anak yatim  dan  fakir  miskin dipelihara oleh negara,

(b) setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, serta

(c) tidak ada diskriminasi (positive discriminations).

Untuk ini perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang rumusannya adalah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dirubah), sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Aktualisasinya dalam bidang lingkungan hidup, Pancasila diwujudkan sebagai ruh bagi perundang-undangan bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan lingkungan hidup; yang menegaskan bahwa kualitas lingkungan hidup sangat berkaitan dengan kualitas hidup; yang berwawasan kebangsaan melalui pemeliharaan lingkungan hidup serta pensejahteraan seluruh rakyat secara adil, makmur, dan merata; serta yang dipahami bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup beserta perilakunya. 3.3 Bidang Pendidikan, Budaya, dan Keagamaan Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai landasan idiil bagi pembangunan pendidikan, budaya, dan keagamaan di Indonesia yang menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan, dan ras; ideologi terbuka yang mendorong kreativitas dan inovativitas; spirit untuk pengembangan dinamika masyarakat dalam pembentukkan watak peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; serta visi dan misi pendidikan nasional bagi anak Indonesia.

Problema yang dihadapi berintikan pada masalah kebudayaan, yang pemecahannya secara mendasar adalah melalui proses pendidikan secara menyeluruh. Di bidang budaya, aktualisasi Pancasila berwujud sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan; profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan; proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi; serta penguat kembali proses integrasi nasional baik secara vertikal maupun horizontal.

Di bidang keagamaan, aktualisasi ini berwujud sebagai ideologi yang menerapkan prinsip agama apabila melaksanakan prinsip-prinsip tauhid, keadilan, kebebasan, musyawarah, persamaan, toleransi, amar makhruf dan nahi mungkar, serta kritik interen. Di samping itu Pancasila berwujud sebagai ideologi yang paling memungkinkan bangsa Indonesia bersatu dalam NKRI yang nilai-nilainya universal, yaitu yang sesuai dengan ‘lima tujuan hukum agama’: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta; filsafat dan ideologi yang tidak bertentangan dengan wawasan keagamaan; yang memelihara persatuan-umat, bukan penyatuan-umat; serta yang sebagai hasil kontrak-sosial budaya bangsa Indonesia.

D. Implementasi Aktualisasi Pancasila

Untuk mewujudkan esensi aktualisasi Pancasila, Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik, sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai berikut. Pengembangan model penafsiran  yang  tidak lagi sentralistik dan formal oleh penguasa/pemerintah sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan  kekuasaan. Model penafsiran  perlu dirubah menjadi dapat diteliti/dikaji oleh  ragam  disiplin  ilmu  dan  ragam  komunitas pada  tataran nilai-nilai instrumental dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai  ideologi-terbuka), ditegakkan melalui  perilaku keteladanan oleh segenap bangsa, dan dikontro l melalui  penegakkan  hokum  oleh  aparat  negara.

Pendekatan untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan menerapkannya yang ditawarkan oleh forum adalah pendekatan-kemanusiaan melalui budaya-dialog (tidak lagi semata-mata pendekatan formal kenegaraan); peningkatan kualitas Pusat-pusat Kajian Pancasila; peningkatan kualitas pengelola negara, transformasi kepemimpinan, dan penyempurnaan perundang-undangan; transformasi nilai-nilai Pancasila dengan  cara/metode yang terbarukan. Metodenya  ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog-budaya (pembudayaan yang menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi  interaktif, koordinasi, regulasi, dan keteladanan yang disertai dengan penerapan teknik-teknik ‘reward and punishment’, simulasi (bermain-peran), dinamika kelompok, analisis-kasus, dan seterusnya tetapi tidak melalui teknik-teknik ceramah indoktrinatif, monolog, menggurui, dan seterusnya. Penerapan metode dan teknik kependidikan ini perlu dipahami dalam arti yang luas, yaitu yang tidak sekedar ‘schooling’ tetapi yang lebih penting adalah dalam kerangka pembentukan budi pekerti (akhlak, moral) peserta didik. Sasaran—untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek— untuk implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan, bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi, ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.

Contoh implementasi dengan model, pendekatan, metode, teknik, dan sasaran yang direkomendasikan dalam rangka aktualisasi Pancasila adalah seperti dalam pemberian pengertian dan pemahaman kepada semua pihak tentang esensi Pancasila yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan-lokal (keadaban) masyarakat setempat, pelatihan tentang pengembangan jiwa dan perilaku kepramukaan secara massal, penguasaan bahasa asing bagi peserta didik, membudayakan gerakan hidup ber-Pancasila (GHBP), dan lain sebagainya.

E. Tindak lanjut

Untuk menindaklanjuti hal-hal di atas perlu dilakukan hal-hal di bawah ini.

5.1 Untuk Jangka Panjang

1. Uji-riset, yaitu proses klarifikasi dan pengujian hasil rumusan Simselok secara metodologis (ilmiah) dari empiri (lapangan) melalui (a) penelitian ilmiah dan (b) kajian-akademis. Penelitian-ilmiah perlu difokuskan pada masyarakat (sebagai publik), lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan (sebagai komunitas), lembaga-lembaga pemerintahan, serta lembagalembaga negara. Kajian-akademis berupa kegiatan Simposium, Seminar, dan Lokakarya (Simselok) Pancasila di perguruan-perguruan tinggi (PT) dari wilayah lainnya di Indonesia dan peningkatan hasil Simselok se-Indonesia untuk diseminarkan di tingkat nasional.

2. Uji-publik, yaitu proses sosialisasi dan komunikasi hasil rumusan Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila (di tingkat nasional) secara sosialpolitik. Sosialisasi dan komunikasi perlu difokuskan melalui media massa dan elektronik, penerbitan buku, diskusi publik dengan ragam komunitas, dan sebagainya.

3. Uji-regulasi, yaitu proses penyampaian hasil-akhir kepada lembaga-lembaga penentu kebijakan negara (DPD, DPR, Presiden, dan MPR). Yang dalam proses dan substansi pembuatan regulasinya, lembaga-lembaga negara ini agar tetap berkomitmen dan berkonsisten terhadap Pembukaan UUD 1945, keutuhan NKRI, serta kebhinekatunggalikaan Nusantara, dan keadaban Indonesia.

5.2 Untuk Jangka Pendek

1.Merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar mengatur Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah wajib bagi para peserta didik dari tingkat pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi.

2.Sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 (yang sudah dirubah).

3.Pendidikan Pancasila bukan sebagai alternatif tetapi imperatif bagi perguruan tinggi (dan persekolahan lainnya), yang substansi dan orientasinya berbobot pada pendidikan moral dan pendidikan budi-pekerti untuk mewujudkan kesalehan-akademik dan kesalehan-sosial yang berkeadaban Indonesia.

F. Penutup

Masih banyak pikiran/gagasan/pendapat yang dituliskan pada makalahmakalah dan yang diungkapkan dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila yang belum dirumuskan oleh Tim Perumus. Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan cara membaca makalah-makalah dan/atau notulensinotulensi yang dijadikan bahan perumusan ini. Semua hal di atas dalam penerapannya akan banyak ditentukan oleh faktorfaktor komitmen dan tanggungjawab pemerintah, partisipasi masyarakat, serta

semangat dan kesadaran semua pihak untuk mentradisikan perilaku Pancasila secara konsisten. Semoga bermanfaat.

G. Daftar Pustaka

B u k u :

Al-Ghazali, Imam, 1988, Etika Berkuasa: Nasihat-nasihat Imam Al-Ghazali, Penterjemah: Arief B. Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah.

Astrid S. Susanto Sunario, 1999, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Duapuluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. Kompas, 1999.

Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits, Jakarta: Harian Kompas.

Luhulima, James, 2011, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto: dan Beberapa Peristiwa Terkait, Jakarta: Kompas.

Mubyarto, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE.

M a k a l a h :

Astrid S. Susanto Sunario, 2010, Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta.

Agus Widjojo, 2019, Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan, Jakarta.

———, 2020, Ceramah Kepala Staf Teritorial TNI pada Penataran Dosen Pendidikan dan Filsafat Pancasila tanggal 18 Oktober 2020, Jakarta.

A. Gunawan Setiardja, 2000, Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta. A.T. Soegito, 1997, Pokok-pokok materi: Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Semarang.

———, 1998, Sejarah Indonesia Kontemporer sebagai Materi Pendidikan Pancasila (Analisis Berbagai Permasalahannya), Bogor: Ditbinsarak Ditjen Dikti Depdikbud.

———, 1999, Nasionalisme Indonesia (Pengertian dan Perkembangannya), Jakarta.

(Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya  di  BPSDM  Provinsi Sumatera  Utara, Mahasiswa S-3  di  Universitas  Islam  Negeri  Sumatera  Utara)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *