JAKARTA, DELITIMES.ID – Emas tidak mampu membuktikan diri sebagai aset aman di tengah ancaman resesi dunia. Di tengah kekhawatiran resesi, emas justru terus melemah dan takluk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Analis ANZ menjelaskan ketidakmampuan emas menjadi aset aman adalah karena kebijakan hawkish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Kenaikan suku bunga acuan The Fed secara agresif membuat dolar AS melambung ke titik tertingginya selama 20 tahun terakhir. Yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun juga melonjak ke level tertingginya dalam 12 tahun terakhir.
Kondisi tersebut akan membuat emas kurang menarik karena semakin mahal. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan yield membuat emas semakin ditinggalkan investor.
“Status emas sebagai aset aman di tengah perlambatan ekonomi pudar. Kinerja emas tidak mampu mencegah derasnya aksi jual yang dilakukan investor,” tutur ANZ, dikutip dari Reuters.
ANZ menjelaskan ketidakmampuan emas menahan aksi jual tercermin dalam SPDR Gold Trust. Kepemilikan ETF (Exchange-Traded Fund) emas terbesar di dunia, SPDR Gold Trust, anjlok ke level terendahnya sejak Maret 2020.
Merujuk data Refinitiv, emas sudah turun senilai US$ 314,2 per troy ons sejak The Fed menaikkan suku bunga acuan pertama (17 Maret 2022) hingga hari ini.
Harga emas kembali melemah pada pagi hari ini. Pada perdagangan Rabu (28/9/2022) pukul 06: 12 WIB, harga emas dunia di pasar spot berada di US$ 1.628,49 per troy ons. Harga emas melandai tipis 0,02%.
Pelemahan emas pada pagi hari ini merupakan pembalikan arah dari penguatan kemarin. Pada perdagangan Selasa (26/9/2022), harga emas ditutup menguat 0,45% pada posisi US$ 1.628,8 per troy ons.
Dalam sepekan, harga emas sudah melemah 2,2% secara point to point. Dalam sebulan, harga emas menyusut 6,3% sementara dalam setahun anjlok 7,1%.
“The Fed masih akan agresif untuk waktu yang lama. Harga emas bisa terus tertekan. Emas bisa terus melemah ke kisaran di bawah US$ 1.600,” tutur Ryan McKay, analis TD Securities.
Dikatakan, Emas Mulai Kehilangan Statusnya Sebagai Aset Paling Aman. Benarkah?
JAKARTA, DELITIMES.ID – Emas tidak mampu membuktikan diri sebagai aset aman di tengah ancaman resesi dunia. Di tengah kekhawatiran resesi, emas justru terus melemah dan takluk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Analis ANZ menjelaskan ketidakmampuan emas menjadi aset aman adalah karena kebijakan hawkish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Kenaikan suku bunga acuan The Fed secara agresif membuat dolar AS melambung ke titik tertingginya selama 20 tahun terakhir. Yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun juga melonjak ke level tertingginya dalam 12 tahun terakhir.
Kondisi tersebut akan membuat emas kurang menarik karena semakin mahal. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan yield membuat emas semakin ditinggalkan investor.
“Status emas sebagai aset aman di tengah perlambatan ekonomi pudar. Kinerja emas tidak mampu mencegah derasnya aksi jual yang dilakukan investor,” tutur ANZ, dikutip dari Reuters.
ANZ menjelaskan ketidakmampuan emas menahan aksi jual tercermin dalam SPDR Gold Trust. Kepemilikan ETF (Exchange-Traded Fund) emas terbesar di dunia, SPDR Gold Trust, anjlok ke level terendahnya sejak Maret 2020.
Merujuk data Refinitiv, emas sudah turun senilai US$ 314,2 per troy ons sejak The Fed menaikkan suku bunga acuan pertama (17 Maret 2022) hingga hari ini.
Harga emas kembali melemah pada pagi hari ini. Pada perdagangan Rabu (28/9/2022) pukul 06: 12 WIB, harga emas dunia di pasar spot berada di US$ 1.628,49 per troy ons. Harga emas melandai tipis 0,02%.
Pelemahan emas pada pagi hari ini merupakan pembalikan arah dari penguatan kemarin. Pada perdagangan Selasa (26/9/2022), harga emas ditutup menguat 0,45% pada posisi US$ 1.628,8 per troy ons.
Dalam sepekan, harga emas sudah melemah 2,2% secara point to point. Dalam sebulan, harga emas menyusut 6,3% sementara dalam setahun anjlok 7,1%.
“The Fed masih akan agresif untuk waktu yang lama. Harga emas bisa terus tertekan. Emas bisa terus melemah ke kisaran di bawah US$ 1.600,” tutur Ryan McKay, analis TD Securities.
(sumber : cnbcindonesia.com)