Janji dan Otokritik

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Oleh Hafiztaadi

DELITIMES ID – Janji  pada dasarnya merupakan sesuatu yang harus dipenuhi, dipertanggungjawabkan dan tidak boleh diingkari, sebab bila seseorang mengingkari janji maka ia bisa disebut sebagai orang yang tergolong munafik.

Hal yang sama juga berlaku kepada utang. Utang  pada dasarnya merupakan sesuatu yang kita minta dari orang lain, atau hak milik orang lain yang sedang berada di diri kita.

Sederhananya, apabila seseorang menabur janji, maka ia sama saja sedang berutang kepada seseorang atau sekelompok orang bahkan lebih yang dijanjikan sesuatu.  Apakah Janji itu telah “terbayar” atau telah dipenuhi?

Kata tersebut sangat sederhana memang. Janji yang  tidak ditepati, akan  membuahkan sebuah kata lagi, yaitu; Utang. Kata itu selalu menggilas dan melindas,  rumah-rumah kesenian. Ruang kebudayaan sebuah kota bahkan Indonesia.

Aku tak ingat, entah berapa periode dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah di kotaku. Sebut saja Kota Medan, dilebarkan hingga Sumatera Utara. Tentang Ruang Seni dan Kebudayaan.  Kata “janji” itu berhamburan. Menguap ke udara seperti angin. Kata itu menjadi tak bermakna. Dalam kontestasi; “Posisi seniman dihitung dalam bundel nomerik, untuk memenuhi jumlah hitungan, tetapi pada dasarnya tak pernah diperhitungkan keberadaannya.”

Konsep kebudayaan dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. (Koentjaraningrat. 2015: 144-145, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta )

“Janji” itu menggumpal, menjadi benih yang paling miris bagi kesenian kotaku. Ruang-ruang kebudayaan itu semakin sempit. Kalau tak disentuh akan menjadi bangkai. Akan menjadi kerangka. Menjadi puing-puing di antara bangunan kokoh lainnya. (Lahan Eks. Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan). Bangunan yang sangat memprihatinkan. Yang saat ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Medan. Belum juga tersentuh. Yang dahulunya dikelola oleh UPT Taman Budaya Sumut. Di bawah Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Sumatera Utara, kemudian bermigrasi ke area Pekan Raya Sumatera Utara (notabene sisa-sisa bangunan Tapian Daya.).

Disinyalir, diarea barunya; New Taman Budaya Provinsi akan menghadiahkan gedung pertunjukan teater representatif,  memiliki standart dari segala sisi. Janji itu tentu membuat seluruh seniman Sumatera Utara mampu tersenyum sumringah. Dari sepanjang keterpurukan tanpa infrastruktur yang jelas. Kembali bergelindingan mimpi-mimpi yang sudah terkubur sekian lama.

Tentu  keinginan tersebut  sangat  real, sebuah kerinduan para penggiat seni Kota Medan – Sumatera Utara. Kerinduan berdirinya sebuah gedung kesenian yang representatif . Mimpi itu  hampir dirasakan oleh semua lapisan generasi penggiat kesenian  kota ini.  Dengan proses dan konsep kerja yang baik tentunya.

Hal tersebut juga diawali sebuah  janji lagi. Sebelum Taman Budaya Sumut,  bermigrasi dan berpindah tangan kepada pemerintah kota sistem kelolanya.
Ya, janji yang memberikan rangsangan batiniah. Serta pesona tersendiri. Tentu sangat menggiurkan.

Niat baik yang rencananya diawali dengan melakukan sayembara “design” arsitektur yang memiliki karakter lokalitas, megah. Bunyi janji itu menghadirkan bayangan sebuah gedung yang memiliki standart serta kualitas.  Layaknya gedung-gedung pertunjukan di Indonesia, bahkan dunia. 

Hal itu pernah dituturkan oleh Kepala UPT Taman Budaya, sebelum berpindah dinas ke Museum Negeri Provinsi Sumut. Ucapan yang ditabur tentu dibayangkan menghapus rasa minder yang bersarang di tubuh para seniman Sumatera Utara. Dibanding daerah-daerah kabupaten kecil lainnya di Indonesia. Dibandingkan dengan kota sebesar Kota Medan.

Cerita itu bila dikaji, seperti tak pernah dikerjakan secara serius. Terbentur hanya sebatas mimpi lagi, cuma mainan tidur. Janji belum juga tertebus. Seperti tercebur ke dalam jurang yang sangat dalam.  Pada kesimpulan sementara, kegiatan kebudayaan yang melibatkan kreatifitas seniman,  berlangsung menjadi program rutin,  pun biasa-biasa saja. Akan sangat  jauh untuk disebut sempurna.

Artinya, kota yang dipimpin oleh dua pemimpin lembaga pemerintah itu, belum juga fokus terhadap infrastruktur sebagai fasilitas kreativitas kebudayaan senimannya. Kota nomor tiga terbesar di Indonesia ini tidak  memiliki gedung kesenian yang terbilang layak.

Lantas dimana posisi seniman Sumatera Utara atau seniman Kota Medan itu sebenarnya? Apakah lahan seni kota ini mandul? Atau memang secara perlahan unsur kesengajaan dianaktirikan? Akan terus berbaju dengan kata-kata manis?

Praduga  yang selalu hadir dan pesimisme penggiat kota ini adalah ; Janji itu akan tetap menjadi “bualan”, pemanis bibir para tokoh yang akan ikut melangsungkan pesta demokrasi rakyat berikutnya. Menjadi “janji” baru untuk 2024, mungkin? Berorasi di podium.  Seolah-olah sangat responsif terhadap kesenian dan ruang kebudayaan itu.

Di tengah arus modernisasi, politik cenderung  mengesampingkan nilai-nilai yang memiliki potensi untuk dicuatkan. Padahal, dinamika manusia di setiap sektor kehidupan selalu berorientasi untuk kebaikan manusia lainnya, untuk kesejahteraan masyarakat, untuk mencapai cita-cita bersama. Selalu melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang entah di mana ujung serta pangkalnya.
Persoalan-persoalan yang ada juga tak terselesaikan. Ikut membuahi kemirisan akan kebutuhan ruang-ruang seni dan budaya di kota terbesar nomor tiga ini semakin samar, semakin tergerus dan terpinggirkan. Dibilang hidup segan, mati pun juga tak mau.

Potensi yang ada tergilas oleh konsep-konsep materialisme semata. Ruang kebudayaan tersebut hanya dilirik dengan sebelah mata. Mungkin dianggap tidak menguntungkan. 

Hal itu terjadi dan bergulir setiap periode dari tahun ke tahun. Tanpa perhatian yang utuh dan sikap yang konkrit. Pikiran-pikiran hebat dalam sebuah orasi, cuma memasuki ruang mimpi dan ruang-ruang yang sangat samar,  dihadiahkan bagi kesenian dan kebudayaan sebuah kota.

Selanjutnya, Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Ikut terabaikan, seperti diobrak-abrik atas janji-janji yang ada.

Tujuh agenda strategi kebudayaan yang diamanatkan ke dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang  pemajuan kebudayaan, harus ditelusuri kembali dan disodorkan kepada pemangku pemerintahan. Terkait dengan penyediaan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya serta memperkuat kebudayaan yang inklusif. Juga melembagakan pekan kebudayaan nasional sebagai wadah aksi bersama yang memastikan peningkatan interaksi kreatif-antar budaya.
Wajib dipertanyakan kembali tentang gagasan-gagasan yang sangat baik itu. Seperti tak tersentuh dalam pengembangan yang diharapkan. Atau mungkin cara berpikir kita yang mandul?

Bila kalimat repetitif di atas  dibunyikan kembali: Atau lahan tanah kota ini tak subur lagi bagi kesenian dan aktifitas kebudayaan.  Lantas siapa yang salah?

Hukum sebab akibat itu selalu terjadi dan menjadi kambing hitam yang tak memiliki keseksian lagi dalam sebuah peradaban manusia.
Asset-asset kota yang diperuntukan bagi seniman kota ini, satu persatu, lenyap “menghilang”. Bangunan Studio Film juga entah kemana  Tak memiliki jejak lagi. Tapian Daya yang dulunya difungsikan untuk kebutuhan geliat seniman di Sumatera Utara telah lama beralih fungsi. Gedung teater arena di lokasi itu diruntuhkan. Gedung yang memiliki akustik yang terbilang sangat baik. Bahkan saat ini lahan tersebut menjadi rumah baru bagi UPT Taman Budaya Sumut yang belum memiliki fungsi yang sebenar-benarnya untuk mengelola seni budaya yang ada di kota ini.

Gedung pertunjukan yang menjadi janji yang mungkin ke seribu kalinya itu, belum ada sedikitpun tanda-tandanya untuk berdiri. Bahkan lahan Taman Budaya Sumut itu pun, masih berkongsi dengan sebuah lembaga pengelola Pekan Raya Sumut (Sumut Fair). Persoalan-persoalan yang ada semakin memperjelas keadaan yang sebenarnya. Iming-iming tentang janji itu, mempertebal bualan dan hadirnya pertanyaan kembali terhadap gedung yang ditinggalkan atas rujukan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara  Milik siapa gedung itu sebenarnya saat ini?

Terbiarkan, mangkrak seperti rumah hantu? (Gedung Eks. Taman Budaya Provinsi Sumatera Utara.) Perpindahan lahan ke wilayah barupun tak memiliki strategi yang benar. “Kesenian dan aktivitas Kebudayaan tak membutuhkan kantor yang megah” (Dalam tanda petik),  tetapi ia membutuhkan rumah yang dilengkapi segala perabotannya untuk menampung daya kreatifnya. Simpul-simpul yang mampu dipertegas oleh kelengkapan dasarnya. Dan yang perlu dipahami adalah logika seni atau kesenian itu sangat berbeda dengan kondisi real hidup yang sebenarnya. Dia bukan lagi imitasi yang tidak berlogika. Kesenian juga memiliki daya untuk sebuah penyadaran pada akhirnya.

Dengan kegagahan dan mirisnya kemiskinan, sekali waktu gedung yang terbengkalai  di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33  itu masih dipergunakan oleh seniman Sumatera Utara di Kota Medan dengan berbagai kekurangannya. Hal tersebut sangat memprihatinkan. Beribu kali janji-janji untuk menyuburkan ruang kebudayaan itu telah didengar oleh telinga para Seniman kota ini dan belum terwujud. Berbedak pun, wajahnya masih pudar.

Pada hakikatnya, ritual kesenian dan kebudayaan yang mengakar kepada kecerdasan, keluhuran itu tak semata bukanlah ritual seremonial. Dalam bahasa kebudayaan, proses yang digulirkan untuk edukasi, mencerdaskan. Serta memanusiakan manusia. Maka kegagalan yang selalu muncul adalah sistem atau cara pengelolaannya. Hanya memandang dari sudut materialnya yang sangat materialistik.

Lebih spesifik kebudayaan dapat menjadi salah satu kekuatan bangsa di mata internasional.

Yunani kuno adalah suatu peradaban yang sangat besar dan dapat dikatakan suatu pusat peradaban kuno, bahkan Romawi yang krisis identitaspun masih memanifestasikan budaya, seni dan bahkan agama (dewa-dewa) Yunani. Kekayaan Yunani dapat diukur dari monumen-monumennya, bahkan monumen paling monumental adalah Parthenon, dipersembahkan untuk Athena sang Dewi Pelindung Kota, sebuah patung perunggu kolosal yang menggambarkan Athena dan tangga berhias yang mengarah ke Propylaea.

Kemasyuran peradaban Yunani  berangkat dari seni. Yunani memiliki kuil-kuil cantik yang dipersembahkan untuk dewa mereka, memiliki patung yang selalu menghiasi kota, tembikar (keramik) yang sangat menawan, kukisan yang indah seperti yang dilukis pelukis-pelukis terkenal seperti Zeuxis, Parrhasius dan Apelles.

Bila dilirik dari hal yang positif, lanskap besar itu juga menghasilkan devisa bagi pariwisata kota bersejarah yang hancur lebur dengan keindahannya.

Kenangan tentang kota yang begitu indah itu, kemudian mengalami kehancuran. Politik menjadi jagoan yang begitu arogan diperjuangkan. Hukum sebab akibat itu juga terjadi di sana pada zamannya. Bukankah itu kesombongan yang juga salah satu benih dari kehancuran tentang kebudayaan dan sebuah peradaban?

Pesan yang dapat kita petik dari hancuran peradaban Yunani ini adalah konflik atau perang saudara yang menyebabkan kehancuran suatu peradaban, bayangkan Yunani bersatu, dua kekuatan antara Sparta dan Athena,  dapat mengalahkan Persia yang kuat, karena benar bahwa ciri-ciri akan musnahnya suatu peradaban adalah perang sesama bangsa sendiri. Hanya mementingkan muatan politik kelompok atau pribadi-pribadi belaka.

Tapi mampukah politik bergerak mengikut sertakan dan mengadopsi nilai-nilai atau ruh yang berkebudayaan? Punya adab, etos kerja yang baik dan benar. Etika tidak saling mengutuk dan menggerogoti dan  “kesadara n” selalu mengalami keracunan dan kita todongkan pistol itu ke kepalanya. Bah….!

Keruwetan Kelembagaan Kesenian

Meminjam kalimat Jhon F. Kennedy; “Bila politik membengkok, maka seni yang akan meluruskan.”  > (“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.”)

Dan bila kesenian dan lembaga yang membengkok, siapa yang meluruskan ?

Makin hari, makin dapat terpetakan adanya pihak-pihak dan kubu-kubu dengan berbagai pendapat dan pandangannya tentang sebuah kelembagaan kesenian. Upaya-upaya penyelesaian dan pencarian solusi dari berbagai pihak secara tarik-ulur memang sedang (dan terus) terupayakan  Namun kalau kita mau jujur, benarkah kita sedang mencari solusi atau jalan penyelesaian yang terbaik untuk kepentingan bersama? Yakni memperjuangkan harkat dan hakikat kesenian

Benarkah kita (para pihak yang terkait atau setidaknya merasa terkait dalam persoalan Dewan Kesenian Medan (DKM) ini, sedang hendak melakukan sebuah penyelamatan Dewan Kesenian yang hampir-hampir tak bernafas.
Tak ber-geliat. Demisioner beberapa tahun silam?

Disinyalir belum melakukan LPJ ke pihak Dinas Kebudayaan Kota Medan sebagai perpanjangan tangan pihak Pemerintah Kota Medan. Artinya, persoalan management kelembagaan tersebut wajib dipertanyakan kembali.

Dalam aturan Perwal Nomor 10 tahun 2014, Pasal 76 (7) ; Laporan penggunaan anggaran Dewan Kesenian wajib diaudit oleh auditor publik setiap tahunnya dan diumumkan kepada publik melalui media massa.

Hingga berakhirnya masa jabatan kepengurusan, mekanisme itu tidak berjalan sesuai bunyi pasal tersebut di atas dan terabaikan. Dan masyarakat kesenian butuh bukti bila itu benar dilakukan dengan baik serta terbuka. Karena kesenian dan kebudayaan bukan lembaga untuk tipu daya.

Akibatnya bermunculan keresahan masyarakat kesenian dari berbagai disiplin ilmu. Ketakberdayaan itu menjadi sebuah picu positif. Bahwa kesenian di Kota Medan harus terus digerakan. Seniman kota ini mersakan tak terwakili oleh kepengurusan Dewan Kesenian periode 2014 – 2017.

Dan bila kesenian dan lembaga yang membengkok, siapa yang meluruskan? Persoalan tersebut kemudian disahuti sebagian besar seniman Kota Medan dari berbagai cabang kesenian yang ada. Tanggal  27 – 28 Oktober 2021 lalu,  sebuah gerakan dilakukan. Gerakan itu merupakan sebuah dorongan guna penyelamatan tentang kebekuan sistem yang terbilang macet. Bertajuk ; Rembuk Seniman Medan. Yang notabene (kepengurusan DKM) demioner. Vakum beberapa tahun, tanpa adanya kepengurusan yang baru.

Dalam perhelatan yang diadakan oleh seniman dari seluruh cabang kesenian menolak dan memberikan solusi yang didukung oleh Dinas Kebudayaan Kota Medan sebagai mitra kerja para pegiat kesenian; Mendesak perubahan Peraturan Walikota Medan Nomor 10 Tahun 2014, tentang Majelis Kesenian Medan (MKM)  dan Dewan Kesenian Medan (DKM) untuk melakukan pembubaran pengurus MKM dan DKM.

Gagasan tersebut dikoordinir oleh Afrion, salah seorang seniman Tmteater dan juga sastrawan Kota Medan. Sebelumnya telah berkoordinasi dengan dinas terkait.

Kegiatan ditindaklanjuti dengan mengadakan Musyawarah Seniman Medan. Sebagai penggagas Afrion tetap melakukan koordinasi dengan Dinas Kebudayaan Kota Medan. Kegiatan dilaksanakan tanggal 6 – 7 Februari 2022 di Gedung Tari Eks. Taman Budaya Sumatera Utara. Dalam acara pembukaan Musyawarah Seniman Medan dihadiri dan dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kota Medan Drs. OK Zulfi, MSi,. Membacakan pidato dari Muhammad Bobby Afif Nasution, SE, MM,  Walikota Medan. Acara Musyawarah Seniman Medan ditutup oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Medan, Drs. Agus Suriyono.

Musyawarah Seniman Medan juga membentuk kepengurusannya yang baru masa bakti 2022 – 2027.

Kebekuan sistem itu kembali terjadi hingga hari ini. Pengukuhan kepengurusan Dewan Kesenian itu juga tak terlaksana hingga saat ini. Musyawarah yang dilakukan tanpa biaya dari pihak manapun, telah terlaksanakan secara sukarela oleh seniman Medan (Tanpa menggunakan anggaran APBD). Secara formal surat audiensi juga telah dilayangkan ke berbagai lembaga; Ketua DPRD Kota Medan, Sekda Kota Medan, audiensi langsung ke Dinas Kebudayaan Kota Medan (pertemuan tatap muka ke dinas terkait). Hingga surat audiensi ke Walikota Medan,  sudah berbulan-bulan tak kunjung berkabar? Semua mempertanyakan ketegasan oemerintah saerah ini.

Adakah yang salah di sistem Pemerintahan Kota Medan? Seolah-olah integritas seniman Kota Medan tak memiliki marwahnya. Secara formal seniman Kota Medan telah melakukan adab dan sopan santunnya secara formal. Responsif itu boleh untuk dikatakan sangat kaku dan mengalami kebekuan.

Mendaur ulang kalimat sebelumnya di atas; Dalam hitungan detik 2024 sudah memasuki pintu gerbang emasnya. Apakah janji-janji untuk menyuburkan kesenian dan kebudayaan sebagai bentuk kecerdasan itu akan kembali terucap bercampur gula-gula?

Dalam perhelatan besar itu “Seniman masuk dalam hitungan nomerik untuk menambah jumlah angka-angka. Namun usai pesta yang menyembelih kerbau. Seniman tak diperhitungkan.”

Para seniman Kota Medan tetap menyanjung bahwa etika dan adab itu lebih tinggi dari ilmu manapun.

Pentingkah kesenian dan kebudayaan itu dibicarakan kembali? Bila tak dianggap penting dan tak pantas untuk diayomi serta diasuh, mohon cat hitam seluruh slogan atau kosakata yang menyatakan kota ini  Bermartabat, Berbudaya dan Berkolaborasi, menyemarakan seremonial yang menyerempet kepada bentuk yang hipokrit. #

* Catatan bulan November 2022
(Penulis, Ketua Medan Teater Tronic – Pengurus Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan Sumatera Utara.- Scenographer)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Janji dan Otokritik

Oleh Hafiztaadi

DELITIMES ID – Janji  pada dasarnya merupakan sesuatu yang harus dipenuhi, dipertanggungjawabkan dan tidak boleh diingkari, sebab bila seseorang mengingkari janji maka ia bisa disebut sebagai orang yang tergolong munafik.

Hal yang sama juga berlaku kepada utang. Utang  pada dasarnya merupakan sesuatu yang kita minta dari orang lain, atau hak milik orang lain yang sedang berada di diri kita.

Sederhananya, apabila seseorang menabur janji, maka ia sama saja sedang berutang kepada seseorang atau sekelompok orang bahkan lebih yang dijanjikan sesuatu.  Apakah Janji itu telah “terbayar” atau telah dipenuhi?

Kata tersebut sangat sederhana memang. Janji yang  tidak ditepati, akan  membuahkan sebuah kata lagi, yaitu; Utang. Kata itu selalu menggilas dan melindas,  rumah-rumah kesenian. Ruang kebudayaan sebuah kota bahkan Indonesia.

Aku tak ingat, entah berapa periode dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah di kotaku. Sebut saja Kota Medan, dilebarkan hingga Sumatera Utara. Tentang Ruang Seni dan Kebudayaan.  Kata “janji” itu berhamburan. Menguap ke udara seperti angin. Kata itu menjadi tak bermakna. Dalam kontestasi; “Posisi seniman dihitung dalam bundel nomerik, untuk memenuhi jumlah hitungan, tetapi pada dasarnya tak pernah diperhitungkan keberadaannya.”

Konsep kebudayaan dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. (Koentjaraningrat. 2015: 144-145, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta )

“Janji” itu menggumpal, menjadi benih yang paling miris bagi kesenian kotaku. Ruang-ruang kebudayaan itu semakin sempit. Kalau tak disentuh akan menjadi bangkai. Akan menjadi kerangka. Menjadi puing-puing di antara bangunan kokoh lainnya. (Lahan Eks. Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan). Bangunan yang sangat memprihatinkan. Yang saat ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Medan. Belum juga tersentuh. Yang dahulunya dikelola oleh UPT Taman Budaya Sumut. Di bawah Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Sumatera Utara, kemudian bermigrasi ke area Pekan Raya Sumatera Utara (notabene sisa-sisa bangunan Tapian Daya.).

Disinyalir, diarea barunya; New Taman Budaya Provinsi akan menghadiahkan gedung pertunjukan teater representatif,  memiliki standart dari segala sisi. Janji itu tentu membuat seluruh seniman Sumatera Utara mampu tersenyum sumringah. Dari sepanjang keterpurukan tanpa infrastruktur yang jelas. Kembali bergelindingan mimpi-mimpi yang sudah terkubur sekian lama.

Tentu  keinginan tersebut  sangat  real, sebuah kerinduan para penggiat seni Kota Medan – Sumatera Utara. Kerinduan berdirinya sebuah gedung kesenian yang representatif . Mimpi itu  hampir dirasakan oleh semua lapisan generasi penggiat kesenian  kota ini.  Dengan proses dan konsep kerja yang baik tentunya.

Hal tersebut juga diawali sebuah  janji lagi. Sebelum Taman Budaya Sumut,  bermigrasi dan berpindah tangan kepada pemerintah kota sistem kelolanya.
Ya, janji yang memberikan rangsangan batiniah. Serta pesona tersendiri. Tentu sangat menggiurkan.

Niat baik yang rencananya diawali dengan melakukan sayembara “design” arsitektur yang memiliki karakter lokalitas, megah. Bunyi janji itu menghadirkan bayangan sebuah gedung yang memiliki standart serta kualitas.  Layaknya gedung-gedung pertunjukan di Indonesia, bahkan dunia. 

Hal itu pernah dituturkan oleh Kepala UPT Taman Budaya, sebelum berpindah dinas ke Museum Negeri Provinsi Sumut. Ucapan yang ditabur tentu dibayangkan menghapus rasa minder yang bersarang di tubuh para seniman Sumatera Utara. Dibanding daerah-daerah kabupaten kecil lainnya di Indonesia. Dibandingkan dengan kota sebesar Kota Medan.

Cerita itu bila dikaji, seperti tak pernah dikerjakan secara serius. Terbentur hanya sebatas mimpi lagi, cuma mainan tidur. Janji belum juga tertebus. Seperti tercebur ke dalam jurang yang sangat dalam.  Pada kesimpulan sementara, kegiatan kebudayaan yang melibatkan kreatifitas seniman,  berlangsung menjadi program rutin,  pun biasa-biasa saja. Akan sangat  jauh untuk disebut sempurna.

Artinya, kota yang dipimpin oleh dua pemimpin lembaga pemerintah itu, belum juga fokus terhadap infrastruktur sebagai fasilitas kreativitas kebudayaan senimannya. Kota nomor tiga terbesar di Indonesia ini tidak  memiliki gedung kesenian yang terbilang layak.

Lantas dimana posisi seniman Sumatera Utara atau seniman Kota Medan itu sebenarnya? Apakah lahan seni kota ini mandul? Atau memang secara perlahan unsur kesengajaan dianaktirikan? Akan terus berbaju dengan kata-kata manis?

Praduga  yang selalu hadir dan pesimisme penggiat kota ini adalah ; Janji itu akan tetap menjadi “bualan”, pemanis bibir para tokoh yang akan ikut melangsungkan pesta demokrasi rakyat berikutnya. Menjadi “janji” baru untuk 2024, mungkin? Berorasi di podium.  Seolah-olah sangat responsif terhadap kesenian dan ruang kebudayaan itu.

Di tengah arus modernisasi, politik cenderung  mengesampingkan nilai-nilai yang memiliki potensi untuk dicuatkan. Padahal, dinamika manusia di setiap sektor kehidupan selalu berorientasi untuk kebaikan manusia lainnya, untuk kesejahteraan masyarakat, untuk mencapai cita-cita bersama. Selalu melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang entah di mana ujung serta pangkalnya.
Persoalan-persoalan yang ada juga tak terselesaikan. Ikut membuahi kemirisan akan kebutuhan ruang-ruang seni dan budaya di kota terbesar nomor tiga ini semakin samar, semakin tergerus dan terpinggirkan. Dibilang hidup segan, mati pun juga tak mau.

Potensi yang ada tergilas oleh konsep-konsep materialisme semata. Ruang kebudayaan tersebut hanya dilirik dengan sebelah mata. Mungkin dianggap tidak menguntungkan. 

Hal itu terjadi dan bergulir setiap periode dari tahun ke tahun. Tanpa perhatian yang utuh dan sikap yang konkrit. Pikiran-pikiran hebat dalam sebuah orasi, cuma memasuki ruang mimpi dan ruang-ruang yang sangat samar,  dihadiahkan bagi kesenian dan kebudayaan sebuah kota.

Selanjutnya, Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Ikut terabaikan, seperti diobrak-abrik atas janji-janji yang ada.

Tujuh agenda strategi kebudayaan yang diamanatkan ke dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang  pemajuan kebudayaan, harus ditelusuri kembali dan disodorkan kepada pemangku pemerintahan. Terkait dengan penyediaan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya serta memperkuat kebudayaan yang inklusif. Juga melembagakan pekan kebudayaan nasional sebagai wadah aksi bersama yang memastikan peningkatan interaksi kreatif-antar budaya.
Wajib dipertanyakan kembali tentang gagasan-gagasan yang sangat baik itu. Seperti tak tersentuh dalam pengembangan yang diharapkan. Atau mungkin cara berpikir kita yang mandul?

Bila kalimat repetitif di atas  dibunyikan kembali: Atau lahan tanah kota ini tak subur lagi bagi kesenian dan aktifitas kebudayaan.  Lantas siapa yang salah?

Hukum sebab akibat itu selalu terjadi dan menjadi kambing hitam yang tak memiliki keseksian lagi dalam sebuah peradaban manusia.
Asset-asset kota yang diperuntukan bagi seniman kota ini, satu persatu, lenyap “menghilang”. Bangunan Studio Film juga entah kemana  Tak memiliki jejak lagi. Tapian Daya yang dulunya difungsikan untuk kebutuhan geliat seniman di Sumatera Utara telah lama beralih fungsi. Gedung teater arena di lokasi itu diruntuhkan. Gedung yang memiliki akustik yang terbilang sangat baik. Bahkan saat ini lahan tersebut menjadi rumah baru bagi UPT Taman Budaya Sumut yang belum memiliki fungsi yang sebenar-benarnya untuk mengelola seni budaya yang ada di kota ini.

Gedung pertunjukan yang menjadi janji yang mungkin ke seribu kalinya itu, belum ada sedikitpun tanda-tandanya untuk berdiri. Bahkan lahan Taman Budaya Sumut itu pun, masih berkongsi dengan sebuah lembaga pengelola Pekan Raya Sumut (Sumut Fair). Persoalan-persoalan yang ada semakin memperjelas keadaan yang sebenarnya. Iming-iming tentang janji itu, mempertebal bualan dan hadirnya pertanyaan kembali terhadap gedung yang ditinggalkan atas rujukan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara  Milik siapa gedung itu sebenarnya saat ini?

Terbiarkan, mangkrak seperti rumah hantu? (Gedung Eks. Taman Budaya Provinsi Sumatera Utara.) Perpindahan lahan ke wilayah barupun tak memiliki strategi yang benar. “Kesenian dan aktivitas Kebudayaan tak membutuhkan kantor yang megah” (Dalam tanda petik),  tetapi ia membutuhkan rumah yang dilengkapi segala perabotannya untuk menampung daya kreatifnya. Simpul-simpul yang mampu dipertegas oleh kelengkapan dasarnya. Dan yang perlu dipahami adalah logika seni atau kesenian itu sangat berbeda dengan kondisi real hidup yang sebenarnya. Dia bukan lagi imitasi yang tidak berlogika. Kesenian juga memiliki daya untuk sebuah penyadaran pada akhirnya.

Dengan kegagahan dan mirisnya kemiskinan, sekali waktu gedung yang terbengkalai  di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33  itu masih dipergunakan oleh seniman Sumatera Utara di Kota Medan dengan berbagai kekurangannya. Hal tersebut sangat memprihatinkan. Beribu kali janji-janji untuk menyuburkan ruang kebudayaan itu telah didengar oleh telinga para Seniman kota ini dan belum terwujud. Berbedak pun, wajahnya masih pudar.

Pada hakikatnya, ritual kesenian dan kebudayaan yang mengakar kepada kecerdasan, keluhuran itu tak semata bukanlah ritual seremonial. Dalam bahasa kebudayaan, proses yang digulirkan untuk edukasi, mencerdaskan. Serta memanusiakan manusia. Maka kegagalan yang selalu muncul adalah sistem atau cara pengelolaannya. Hanya memandang dari sudut materialnya yang sangat materialistik.

Lebih spesifik kebudayaan dapat menjadi salah satu kekuatan bangsa di mata internasional.

Yunani kuno adalah suatu peradaban yang sangat besar dan dapat dikatakan suatu pusat peradaban kuno, bahkan Romawi yang krisis identitaspun masih memanifestasikan budaya, seni dan bahkan agama (dewa-dewa) Yunani. Kekayaan Yunani dapat diukur dari monumen-monumennya, bahkan monumen paling monumental adalah Parthenon, dipersembahkan untuk Athena sang Dewi Pelindung Kota, sebuah patung perunggu kolosal yang menggambarkan Athena dan tangga berhias yang mengarah ke Propylaea.

Kemasyuran peradaban Yunani  berangkat dari seni. Yunani memiliki kuil-kuil cantik yang dipersembahkan untuk dewa mereka, memiliki patung yang selalu menghiasi kota, tembikar (keramik) yang sangat menawan, kukisan yang indah seperti yang dilukis pelukis-pelukis terkenal seperti Zeuxis, Parrhasius dan Apelles.

Bila dilirik dari hal yang positif, lanskap besar itu juga menghasilkan devisa bagi pariwisata kota bersejarah yang hancur lebur dengan keindahannya.

Kenangan tentang kota yang begitu indah itu, kemudian mengalami kehancuran. Politik menjadi jagoan yang begitu arogan diperjuangkan. Hukum sebab akibat itu juga terjadi di sana pada zamannya. Bukankah itu kesombongan yang juga salah satu benih dari kehancuran tentang kebudayaan dan sebuah peradaban?

Pesan yang dapat kita petik dari hancuran peradaban Yunani ini adalah konflik atau perang saudara yang menyebabkan kehancuran suatu peradaban, bayangkan Yunani bersatu, dua kekuatan antara Sparta dan Athena,  dapat mengalahkan Persia yang kuat, karena benar bahwa ciri-ciri akan musnahnya suatu peradaban adalah perang sesama bangsa sendiri. Hanya mementingkan muatan politik kelompok atau pribadi-pribadi belaka.

Tapi mampukah politik bergerak mengikut sertakan dan mengadopsi nilai-nilai atau ruh yang berkebudayaan? Punya adab, etos kerja yang baik dan benar. Etika tidak saling mengutuk dan menggerogoti dan  “kesadara n” selalu mengalami keracunan dan kita todongkan pistol itu ke kepalanya. Bah….!

Keruwetan Kelembagaan Kesenian

Meminjam kalimat Jhon F. Kennedy; “Bila politik membengkok, maka seni yang akan meluruskan.”  > (“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.”)

Dan bila kesenian dan lembaga yang membengkok, siapa yang meluruskan ?

Makin hari, makin dapat terpetakan adanya pihak-pihak dan kubu-kubu dengan berbagai pendapat dan pandangannya tentang sebuah kelembagaan kesenian. Upaya-upaya penyelesaian dan pencarian solusi dari berbagai pihak secara tarik-ulur memang sedang (dan terus) terupayakan  Namun kalau kita mau jujur, benarkah kita sedang mencari solusi atau jalan penyelesaian yang terbaik untuk kepentingan bersama? Yakni memperjuangkan harkat dan hakikat kesenian

Benarkah kita (para pihak yang terkait atau setidaknya merasa terkait dalam persoalan Dewan Kesenian Medan (DKM) ini, sedang hendak melakukan sebuah penyelamatan Dewan Kesenian yang hampir-hampir tak bernafas.
Tak ber-geliat. Demisioner beberapa tahun silam?

Disinyalir belum melakukan LPJ ke pihak Dinas Kebudayaan Kota Medan sebagai perpanjangan tangan pihak Pemerintah Kota Medan. Artinya, persoalan management kelembagaan tersebut wajib dipertanyakan kembali.

Dalam aturan Perwal Nomor 10 tahun 2014, Pasal 76 (7) ; Laporan penggunaan anggaran Dewan Kesenian wajib diaudit oleh auditor publik setiap tahunnya dan diumumkan kepada publik melalui media massa.

Hingga berakhirnya masa jabatan kepengurusan, mekanisme itu tidak berjalan sesuai bunyi pasal tersebut di atas dan terabaikan. Dan masyarakat kesenian butuh bukti bila itu benar dilakukan dengan baik serta terbuka. Karena kesenian dan kebudayaan bukan lembaga untuk tipu daya.

Akibatnya bermunculan keresahan masyarakat kesenian dari berbagai disiplin ilmu. Ketakberdayaan itu menjadi sebuah picu positif. Bahwa kesenian di Kota Medan harus terus digerakan. Seniman kota ini mersakan tak terwakili oleh kepengurusan Dewan Kesenian periode 2014 – 2017.

Dan bila kesenian dan lembaga yang membengkok, siapa yang meluruskan? Persoalan tersebut kemudian disahuti sebagian besar seniman Kota Medan dari berbagai cabang kesenian yang ada. Tanggal  27 – 28 Oktober 2021 lalu,  sebuah gerakan dilakukan. Gerakan itu merupakan sebuah dorongan guna penyelamatan tentang kebekuan sistem yang terbilang macet. Bertajuk ; Rembuk Seniman Medan. Yang notabene (kepengurusan DKM) demioner. Vakum beberapa tahun, tanpa adanya kepengurusan yang baru.

Dalam perhelatan yang diadakan oleh seniman dari seluruh cabang kesenian menolak dan memberikan solusi yang didukung oleh Dinas Kebudayaan Kota Medan sebagai mitra kerja para pegiat kesenian; Mendesak perubahan Peraturan Walikota Medan Nomor 10 Tahun 2014, tentang Majelis Kesenian Medan (MKM)  dan Dewan Kesenian Medan (DKM) untuk melakukan pembubaran pengurus MKM dan DKM.

Gagasan tersebut dikoordinir oleh Afrion, salah seorang seniman Tmteater dan juga sastrawan Kota Medan. Sebelumnya telah berkoordinasi dengan dinas terkait.

Kegiatan ditindaklanjuti dengan mengadakan Musyawarah Seniman Medan. Sebagai penggagas Afrion tetap melakukan koordinasi dengan Dinas Kebudayaan Kota Medan. Kegiatan dilaksanakan tanggal 6 – 7 Februari 2022 di Gedung Tari Eks. Taman Budaya Sumatera Utara. Dalam acara pembukaan Musyawarah Seniman Medan dihadiri dan dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kota Medan Drs. OK Zulfi, MSi,. Membacakan pidato dari Muhammad Bobby Afif Nasution, SE, MM,  Walikota Medan. Acara Musyawarah Seniman Medan ditutup oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Medan, Drs. Agus Suriyono.

Musyawarah Seniman Medan juga membentuk kepengurusannya yang baru masa bakti 2022 – 2027.

Kebekuan sistem itu kembali terjadi hingga hari ini. Pengukuhan kepengurusan Dewan Kesenian itu juga tak terlaksana hingga saat ini. Musyawarah yang dilakukan tanpa biaya dari pihak manapun, telah terlaksanakan secara sukarela oleh seniman Medan (Tanpa menggunakan anggaran APBD). Secara formal surat audiensi juga telah dilayangkan ke berbagai lembaga; Ketua DPRD Kota Medan, Sekda Kota Medan, audiensi langsung ke Dinas Kebudayaan Kota Medan (pertemuan tatap muka ke dinas terkait). Hingga surat audiensi ke Walikota Medan,  sudah berbulan-bulan tak kunjung berkabar? Semua mempertanyakan ketegasan oemerintah saerah ini.

Adakah yang salah di sistem Pemerintahan Kota Medan? Seolah-olah integritas seniman Kota Medan tak memiliki marwahnya. Secara formal seniman Kota Medan telah melakukan adab dan sopan santunnya secara formal. Responsif itu boleh untuk dikatakan sangat kaku dan mengalami kebekuan.

Mendaur ulang kalimat sebelumnya di atas; Dalam hitungan detik 2024 sudah memasuki pintu gerbang emasnya. Apakah janji-janji untuk menyuburkan kesenian dan kebudayaan sebagai bentuk kecerdasan itu akan kembali terucap bercampur gula-gula?

Dalam perhelatan besar itu “Seniman masuk dalam hitungan nomerik untuk menambah jumlah angka-angka. Namun usai pesta yang menyembelih kerbau. Seniman tak diperhitungkan.”

Para seniman Kota Medan tetap menyanjung bahwa etika dan adab itu lebih tinggi dari ilmu manapun.

Pentingkah kesenian dan kebudayaan itu dibicarakan kembali? Bila tak dianggap penting dan tak pantas untuk diayomi serta diasuh, mohon cat hitam seluruh slogan atau kosakata yang menyatakan kota ini  Bermartabat, Berbudaya dan Berkolaborasi, menyemarakan seremonial yang menyerempet kepada bentuk yang hipokrit. #

* Catatan bulan November 2022
(Penulis, Ketua Medan Teater Tronic – Pengurus Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan Sumatera Utara.- Scenographer)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *