MEDAN, DELITIMES.ID – Tragedi masih terjadi lagi. Bukan tentang kematian satu polisi akibat dibunuh oknum polisi lain, bukan pula kematian beberapa warga oleh oknum dari kesatuan, atau tragedi hilangnya marwah sebagian pejabat akibat seseorang yang – katanya – penjahat dunia maya menyebarkan info pribadi.
Ini tentang hilangnya ratusan nyawa, serta sakitnya puluhan suporter sepakbola akibat kerusuhan pada pertandingan liga sepakbola nasional di Malang Sabtu kemarin.
Ini tragedi, ini peristiwa yang memantik tanya dari sebagian orang; ada apa dengan bangsa ini?
Pemerhati sosial dan lingkungan, Jaya Arjuna, memandang dari sisi lain atas kejadian yang bisa menorehkan catatan buruk bagi sepakbola Indonesia, lebih buruk dibanding trgaedi Heysel dan tragedi Hillsborough dari segi jumlah korban yang tewas. Hanya bisa dikalahkan dengan kematian penonton sebanyak 328 orang di Estadio Nacional, Lima, Peru, pada 1964.
“Amook (amuk) massa. Ya, saya mengambil kata itu. Ada dua kata dari bahasa Indonesia atau bahasa Melayu yang diserap ke bahasa Inggris, yang satu amook satunya lagi orangutan,” katanya dalam perbincangan via telepon dengan DeliTimes.id, Minggu (2/10/2022) pagi yabg disiram sedikit gerimis.
Sekarang ini, katanya, kondisi di negara ini seperti api dalam sekam, sebentar-sebentar bisa memicu amook, sedikit saja singgungan terjadi amook.
“Naiknya harga BBM, mahalnya harga barang kebutuhan pokok, tuntutan biaya hidup lain, pengangguran, menimbulkan kepanikan. Orang ingin sesaat menghilangkan kepanikan tersebut dengan menikmati hiburan melalui sepakbola, tapi di stadion masih ada juga yang menebar kepanikan,” paparnya.
Dia melihat di siaran-siaran ulang rekaman peristiwa, tiba-tiba penonton masuk lapangan, dan tiba-tiba ada gas air mata, lalu ratusan orang berhamburan keluar melalui pintu yang sempit hingga akhirnya meninggal akibat terpijak-pijak atau sesak nafas terkena gas air mata.
“Orang kita sekarang gampang panik, mudah terprovokasi, gampang rusuh. Aparat juga panik, tak terkendali mengatasi peristiwa. Sementara pemerintah, entah tahu entah tidak peduli dengan gejala ini,” ujarnya.
Dulu, kata Jaya, waktu hampir 800 orang petugas Pemilu mati, tak ada yg panik. Cuma kalau nantinya ada kerumunan lagi, ada tembakan, ada berita benar atau tidak benar tersebar luas, maka bisa saja kepanikan muncul, amook massa timbul dan berdampak besar, dalam dan meluas lebih serius.
Menjelang Pemilu 2024, banyak trigger atau pemicu munculnya lagi amook massa.
“Misalnya sekarang muncul berita soal Anies Baswedan yang katanya mau dipenjarakan, ini bisa memicu kepanikan. Sama paniknya dengan kelompok lain yang merasa bakal kehilangan peluang, bahkan kehilangan kesempatan untuk berkuasa lagi. Lalu masing-masing kelompok pendukung mereka melakukan amook,” ulas Jaya.
Bagaimana pemerintah menghindari gesekan bahkan amook akibat kepanikan ini?
“Sulit jika sentimen negatif masyarakat kepada informasi dari pemerintah tidak diperbaiki. Sentimen kepada media mainstreem, orang banyak tidak percaya lagi karena media mainstreem seperti televisi dan koran dianggap hanya jadi corong pemerintah. Lalu larinya kepada media sosial yang dianggap lebih bisa menyajikan informasi apa adanya,” ucapnya.
Fenomena media sosial ini, kata Jaya lagi, juga bisa memicu kepanikan dan amook lain.
“Jika muncul aturan pembatasan media sosial, pemblokiran situs-situs atau penyedia jasa interaksi masyarakat di layar internet. Yang seharusnya, biarkan media mainstreem menyiarkan apa adanya, jangan disetir atau diarahkan, setidaknya bisa mengurangi pemicu adanya amook,” jelasnya.
Tanpa upaya itu semua, masyarakat akan bicara di balik dinding.
“Yang lebih parah, kalau meminjam istilah Mandailing, ada ungkapan ninna..ninna. Ya, katanya.. katanya.. Kemudian berkembang jadi informasi yang tidak terkendali, sambung-menyambung dari mulut ke mulut yang ujungnya berbeda fakta atau maksud di awal,” kata Jaya lagi.
Jadi, Jaya Arjuna kembali mengingatkan, banyak yang sedang panik akibat beban kehidupan. Hati hatilah, jangan ada pemicu kepanikan yg melewati batas lenting, kalau tidak bisa terjadi lagi amook yang mungkin saja di lain waktu terjadi di luar dinding stadion. (ehm)