Pentingnya Nilai Kepalangmerahan di Kalangan Mahasiswa

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Oleh Dr. H. Sakhyan Asmara, MSP

Palang Merah Indonesia, organisasi nirlaba yang pergerakannya fokus di bidang kemanusiaan dan kesukarelawanan.

Tanggal 17 September tahun ini genap berusia 77 tahun, berdiri tepat satu bulan setalah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Nilai kepalangmerahan sangat perlu diinternalisasikan di kalangan mahasiswa, agar dapat mencegah fenomena kenakalan mahasiswa yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Organisasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah  muncul dari ide cerdas dan cemerlang seorang Henry Dunant, setelah menyaksikan dampak perang antara tentara gabungan Perancis-Italia dengan pasukan Austria tanggal 24 Juni 1859 di Solferino sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Lambordi, utara Italia.

Dalam pertempuran itu mengakibatkan  tewasnya sekitar 3.000 tentara Austria, 10.807 cedera, dan 8.638 lainnya hilang atau ditawan. Di pihak Perancis-Italia, sebanyak 2.492 tewas, 12.512 cedera, dan 2.922 hilang atau ditangkap.

Dunant berada di Solferino ketika sedang melakukan perjalanan ke Perancis untuk menemui Napolen III, Kaisar Perancis waktu itu. Dunant sangat prihatin menyaksikan akibat dari pertempuran itu, lalu mengambil inisiatif mengumpulkan warga setempat untuk memberi bantuan kepada para korban perang di kedua belah pihak, tanpa pandang bulu.

Inilah awal lahirnya organisasi internasional Komite Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah  (International Comittee of the Red Cross, ICRC) yang berbasis di Jenewa, Swiss.

Organisasi ini kemudian berkembang di seluruh dunia dan menjadi sebuah organisasi bebas politik yang orientasinya fokus kepada kemanusiaan dan kesukarelawanan.

Dalam perkembangannya Palang Merah Internasional kemudian memiliki Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau International Federation of Red Cross dan Red Crescent (IFRC) yang pada prinsipnya berfungsi sama sebagai organisasi kemanusiaan dan kesukarelawanan, bersifat netral tanpa keberpihakan kepada siapapun dalam memberikan bantuan.

Karena besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat internasional akan kehadiran Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, maka tanggal kelahiran Jean Henry Dunant 8 Mei dijadikan sebagai Hari Palang Merah Internasioal.

Dunant lahir di Jeneva Swis 8 Mei 1828  dan meninggal dunia  30 Oktober 1910.

Di Indonesia

Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah hadir pada masa kolonial Belanda, disebut dengan Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indië (NERKAI) yang kemudian dibubarkan pada saat Jepang berkuasa di Indonesia.

Pelopor berdirinya Palang Merah di Indonesia adalah Dr. R.C.L. Senduk dan Dr. Bahder Djohan. Di masa penjajahan Belanda dua tokoh ini membuat rancangan pembentukan Palang Merah Indonesia, namun mendapat penolakan pada saat sidang Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indië (NERKAI) tahun 1940.

Kemudian dalam masa penjajahan Jepang juga mengalami nasib sama, tetap ditolak kehadiran Palang Merah  Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka barulah upaya mendirikan PMI dapat diwujudkan.  Berawal dari  perintah Presiden Soekarno kepada Menkes RI Kabinet I Dr. Boentaran untuk mendirikan suatu badan Palang Merah Nasional. Dengan dibantu lima orang panitia yakni Dr. R. Mochtar sebagai Ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis dan tiga anggota panitia Dr. R.M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, dan Dr. Sitanala, maka Menkes RI waktu itu melakukan persiapan pemebentukan Palang Merah Indonesia. 

Tepat pada tanggal 17 September 1945 terbentuklah Palang Merah Indonesia yang hingga saat ini dikenal sebagai Hari Palang Merah Indonesia (PMI).

Hingga saat ini Palang Merah Indonesia telah memainkan peran sangat besar dalam membantu masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana maupun masalah-masalah sosial kemasyarakatan lainnya.


Di Sumatera Utara.

Di Sumatera Utara, PMI dibentuk tanggal 24 maret 1964 diketuai oleh PR Telaumbanua. Pada saat itu kondisi organisasi dan markas PMI masih sangat sederhana, namun tetap dapat menjalankan misi kemanusiaan dengan baik.

Saat ini PMI Sumatera Utara dipimpin Dr. H. Rahmat Shah yang sudah memasuki periode ke tiga. Di bawah kepemimpinannya, PMI mengalami kemajuan pesat.

Banyak prestasi  telah ditunjukkan, seperti terbangunnya Gedung Markas PMI yang represantatif, konsolidasi dengan kabupaten kota berjalan lancar,  pembinaan terhadap anggota dan relawan aktif dilaksanakan, pelatihan fasilitator Palang Merah Remaja (PMR), melakukan  tanggap bencana secara cepat dan tepat, memberikan pelayanan kesehatan dan sosial, menyiapkan posko-posko PMI pada saat lebaran dan tahun baru, melakukan beberbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi tentang kepalangmerahan, pembinaan Unit Donor Darah dan membantu ketersediaan darah  di PMI kabupaten/kota.

Selain itu dalam rangka membantu pemerintah mengurangi tingginya angka stunting, PMI Sumut bekerja sama dengan PT. Sibisa, memproduksi beras fortifikasi, yaitu beras bervitamin dengan nama “beras siamo”.

Banyak  kegiatan lain yang dilakukan secara aktif oleh PMI Sumut sehingga Ketua Umum PMI, H. M. Jusuf Kalla memberikan apresiasi dan menyebut PMI Sumut sebagai PMI terbaik karena melaksanakan program kerja secara tepat waktu dan tepat sasaran.

Dalam memperingati HUT PMI ke 77 tahun ini PMI Sumut melalui Ketua Panitia HUT PMI ke 77 Dato’ Said Aldi Al Idrus bersama-sama dengan anggota panitia lainnya, gencar melakukan kunjungan ke beberbagai perguruan tinggi guna merintis kerjasama atau memantapkan kembali kerja sama yang sudah terjalin sebagai salah satu upaya untuk  mengoptimalkan proses internalisasi nilai-nilai kepalangmerahan dikalangan mahasiswa.

Hal itu dilakukan dalam rangka merespons fenomena kenakalan mahasiswa yang dewasa ini cenderung mengkhawatirkan, sehingga upaya pemahaman tentang nilai-nilai kepalangmerahan dikalangan mahasiswa sangat perlu dioptimalkan.

Fenomena kenakalan mahasiswa
Bulan Agustus lalu kita dihebohkan dengan pemberitaan tentang pengidap HIV di kota Bandung yang menyebutkan hingga Desember 2021 terdapat 414 mahasiswa di Bandung mengidap HIV. Hal itu disebutkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung bahwa warga Bandung pengidap HIV sebanyak 5.943 orang, diantaranya 414 (6,97 persen) adalah para mahasiswa. Jumlah itu merupakan penyumbang terbesar pengidap HIV di kota Bandung.

Sementara itu Dewan Pengurus Pusat (DPP) Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena) menyebutkan bahwa 27% pengguna narkoba di Indonesia adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa,  Hal itu disampaikan dalam acara peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) yang disiarkan oleh Universitas Gunadarma TV, Sabtu 26 November 2021.

Besarnya angka penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa sangat dipengaruhi oleh dahsyatnya peredaran narkoba di Indonesia, yang disinyalir merupakan pasar terbesar peredaran narkoba di Asia.

Fenomena kenakalan lain yang melibatkan mahasiswa adalah peristiwa tawuran atau bentrok antar mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia. Tercatat sederetan informasi tentang peristiwa tawuran yang terjadi di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti yang dapat diakses melalui berbagai berita di media massa, media online maupun media sosial.

Fenomena kenakalan itu belum lagi ditambah dengan peristiwa penyimpangan seksual, hamil diluar nikah, pelecehan seksual dikalangan mahasiswa, serta berbagai fenomena kenakalan mahasiswa didalam kampus maupun diluar kampus. Banjir nya perilaku menyimpang dikalangan mahasiswa tentu membuat semua pihak prihatin, terlebih para orang tua.

Berbagai perguruan tinggi juga sudah berupaya melakukan langkah-langkah antisipatif dengan menerbitkan berbagai kebijakan guna menanggulangi fenomena kenakalan mahasiswa. Namun hingga saat ini, kita masih dirisaukan oleh fenomena kenakalan mahasiswa yang belum kunjung membuat hati menjadi tenang.

Suntikan berbagai nilai dan norma telah di upayakan pemerintah maupun perguruan tinggi dalam mengantisipasi kenakalan mahasiswa. Diantaranya adalah dengan menghidupkan berbagai Unit-unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), memberikan pencerahan tentang nilai-nilai agama, nilai-nilai etika maupun nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga nilai-nilai keterampilan seperti jiwa kewuirausahaan, jiwa kesamaptaan, jiwa kepramukaan dan lain sejenisnya.

Salah satu nilai yang sangat perlu dipahami dan diinternalisasikan di kalangan mahasiswa adalah nilai kepalangmerahan yang menjunjung tinggi 7 (tujuh) prinsip dasar yaitu 1.Kemanusiaan (Humanity), 2. Kesamaan (Impartiality), 3.Kenetralan (Neutrality), 4.Kemandirian (Independence), 5.Kesukarelaan (Voluntary Service), 6. Kesatuan (Unity) dan 7.Kesemestaan (Universality). Tujuh nilai inilah sesungguhnya harus ditumbuhkembangkan dan diinternalisakan dalam diri mahasiswa agar dapat mencegah dan terhindar dari fenomena periilaku menyimpang atau kenakalan di kalangan mahasiswa.

Tujuh Prinsip Dasar Kepalangmerahan

Tujuh Prinsip Kepalangmerahan berdasar pada Tujuh Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang dikenal dengan istilah The Seven Fundamental Principles of The International Red Cross and Red Crescent Movement.

Arti penting tujuh prinsip dasar kepalangmerahan bagi mahasiswa adalah untuk membentuk jiwa dan karakter mahasiswa yang manusiawi, menjaga kebersamaan, bersifat netral dan fair, mandiri, berjiwa sukarela, mengutamakan semangat persatuan dan memiliki pandangan kesemestaan. Dengan demikian pandangan tentang kepalangmerahan, tidak hanya sebatas kepada soal donor darah, tanggap bencana, layanan kesehatan, tolong menolong dan lain sejenisnya namun lebih dari itu, nilai kepalangmerahan juga menyangkut pada pembentukan jiwa dan karakter manusia. Hal itu bisa dipahami dengan melihat secara lebih luas tujuh prinsip dasar keplangmerahan serta arti pentingnya bagi mahasiswa.

1. Kemanusiaan (Humanity),
Kemanusiaan merupakan sebuah sikap universal yang memiliki ciri melindungi dan memperlakukan manusia sesuai dengan hakikat manusia secara manusiawi. Dengan memegang teguh prinsip kemanusiaan, maka para mahasiswa akan dapat saling menjaga martabat dan fitrah manusia sebagai nilai azasi yang dimilikinya. Sehingga dengan demikian para mahasiswa sadar betul akan pentingnya nilai-nilai hak azasi manusia. Tumbuhnya sikap seperti ini, akan melahirkan semangat saling menghargai, menghindarkan diri dari pertikaian, perseteruan, sehingga mampu mengusung kedamaian didalam kehidupan kampus.

2. Kesamaan (Impartiality).
Nilai kesamaan mengandung makna tidak membedakan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama/kepercayaan, kelas sosial atau pandangan politik. Dari perspekstif kepalangmerahan, nilai kesamaan dimaksudkan sebagai tekad untuk mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan orang lain yang paling parah. Bagi mahasiswa nilai kesamaan ini menjadi penting karena kampus adalah pusat peradaban berkumpulnya berbagai kalangan, sehingga nilai-nilai kesamaan perlu diinternalisasikan pada diri mahasiswa agar suasana kebersamaan dan persaudaraan dapat terpupuk. Inilah modal dasar bagi terciptanya suasana kampus yang tenang, aman dan damai. Benar-benar menjadi tempat yang sejuk untuk menimba ilmu, sehingga kampus sebagai pusat pengembangan intelektualitas dapat terus terjaga dan dapat terus meningkatkab kompetensi dan daya saingnya.

3. Kenetralan (Neutrality).
Kampus sebagai sumber  kebenaran  harus dijaga netralitasnya. Ilmu bersifat netral, objektif dan universal. Kampus adalah tempat menimba ilmu, Oleh sebab itu insan kampus harus berpegang teguh kepada nilai-nilai kenetralan (neutrality). Mahasiswa sebagai salah satu insan kampus harus mampu berdiri diatas sikap netralitas agar mendapat kepercayaan dari masyarakat. Mahasiswa bersikap tidak berpihak kepada siapapun kecuali kepada nilai-nilai kebenaran. Dengan demikian akan lahirlah insan kampus calon-calon pemimpin bangsa yang berintegritas, bersikap fair dan adil. Inilah modal besar bagi bangsa untuk membangun negara yang adil dan makmur gemah ripah loh jinawi.

4. Kemandirian (Independence).
Kemandirian berarti mempunyai sikap mandiri, yakni mengandalkan kemampuan diri sendiri sebelum menggantungkan diri kepada orang  lain. Kemandirian berarti kesanggupan untuk berdiri sendiri dilandasi oleh sikap keberanian untuk bertanggungjawab atas segala tingkah laku dan mampu melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Kemandirian adalah kemampuan sesorang dalam berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan kemampuan dan kepercayaan diri  sendiri daripada mengikuti orang lain. Sikap seperti ini sangat penting bagi mahasiswa, sebab mahasiswa adalah manusia yang berproses secara sosiologis masih berada dalam posisi marginal, yaitu ia belum sepenuhnya mampu meninggalkan masa-masa remaja dan belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan kehidupan orang dewasa. Disinilah terjadi proses mobilitas vertical yang apabila mahasiswa tidak mampu bersikap mandiri, mempercayai kemampuan dirinya sendiri, maka ia akan terombang ambing oleh kehidupan yang ada disekitarnya. Jika ia berada di sekitar orang-orang sesat, maka ia akan menjadi sesat, sebaliknya jika ia berada disekitar orang-orang yang benar, maka ia akan menjadi insan yang benar. Modal kemandirian inilah yang akan dibawanya ketika ia selesai kuliah, menjadi sarjana dan terjun ditengah-tengah masyarakat. Bila sikap kemandirian sudah ditempa pada saat seseorang masih duduk di bangku kuliah, atau dengan kata lain masih berstatus mahasiswa, maka akan mudah baginya untuk menjalani kehidupan pada saat ia masuk dalam posisi orang dewasa, yakni sudah mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, atau mampu mengandalkan ilmunya untuk mendapatkan pekerjaan yang baik demi menjamin masa depannya. Sikap kemandirian ini sekaligus menangkal dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Sikap kemandirian akan memicu mahasiswa untuk mengejar prerstasi, karena ia sadar bahwa ia tidak akan dapat hidup lebih baik tanpa memiliki kemampuan yang berarti dan dapat diandalkan.

5. Kesukarelaan (Voluntary Service)..
Prinsip Kesukarelaan ialah suatu sikap rela membantu orang lain tanpa berpikir untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Sikap voluntarisme atau kesukarelaan menjadikan kehendak berbuat untuk orang lain sebagai kunci dari segala yang terjadi dalam hidup manusia, sehingga ia mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri (altruistic). Sikap seperti inilah yang digambarkan oleh para cendekia dan kaum ulama sebagai suatu aturan emas etika, yang bernilai sangat mahal.

Bila sikap seperti itu terinternalisasi pada diri mahasiswa, maka akan muncul sifat solidaritas yang tinggi. Sifat seperti sangat penting artinya dalam pergaulan kemahasiswaan yang penuh dengan dinamika. Interaksi mahasiswa dalam berbagai kegiatan akademis dan kegiatan ekstra kurikuler, menyebabkan terjadinya persentuhan antar mahasiswa.

Proses interaksi ini bisa bernuansa positif dan bisa pula bernuansa negatif. Bila interaksi terjadi dalam nuansa yang menjurus negatif, pada saat itulah diperlukan sifat solidaritas dari para mahasiswa. Oleh karenanya jiwa kesukarelaan ini, akan mampu mencegah terjadinya gesekan antar mahasiswa, terjadinya tawuran antar mahasiswa dan lain sejenisnya. 

Dengan terbentuknya jiwa kesukarelaan pada diri mahasiswa maka akan terbangun motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran atau imbalan untuk dirinya.

6. Kesatuan (Unity)
Akar kata kesatuan adalah ‘satu’, artinya tunggal, tidak terpecah dan bersifsat utuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesatuan berarti perihal satu, keesaan, sifat tunggal, satuan.

Pengertian kesatuan tersebut mengandung makna bulat dan utuh. Hal ini menunjuk kepada suasana kekompakan, persahabatan dan persatuan. Kesatuan merupakan hasil dari persatuan yang telah menjadi utuh.

Dengan adanya nilai kesatuan, maka para mahasiswa dapat terhindar dari munculnya disintegrasi antar mahasiswa. Konsep mahasiswa satu almamater harus ditanamkan dalam diri mahasiswa, sehingga pergaulan antar mahasiswa lintas departemen, lintas fakultas akan dapat berjalan dengan baik, mesra, penuh rasa persaudaraan.

Makna kesatuan juga menunjuk kepada terbentuknya sikap satu bahasa, yang memberikan arti satu bahasa dalam memerangi kebodohan, memerangi kemiskinan, memerangi keterbelakangan dan juga memerangi perilaku menyimpang dikalangan mahasiswa sehingga fenomena kenakalan mahasiswa dapat ditekan serendah mungkin, bahkan kalau bisa dapat dihilangkan.

Sedangkan untuk pergaulan mahasiswa antar kampus, nilai kesatuan yang terinternalisasi pada diri mahasiswa akan membangun kesadaran berbangsa dan bertanah air, yakni satu sama lain merasa seperti saudara meski tidak sedarah, namun bisa menghilangkan perbedaan yang dapat menimbulkan pertentangan.

7. Kesemestaan (Universality),
Nilai kesemestaan mengandung arti berpandangan kosmopolit, yakni melihat sesuatu secara konprehensif integral, menyeluruh dan menyatu. lebih melihat hutan dari pada pohon.

Pandangan yang tidak sempit tapi meluas serta  mampu beradaptasi dalam semua sistem yang berlaku dilingkungannya. Seorang mahasiswa yang telah memiliki jiwa kesemestaan, akan berperilaku nondiskriminatif, sebab sudah memiliki cara pandang yang konprehensif.

Nilai universalitas atau kesemestaan ini juga sangat diperlukan bagi mahasiswa dalam menuntut ilmu. Harus disadari bahwa kampus bukan hanya berperan sebagai menara gading, melainkan juga menara api yang dapat memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru.

Oleh karenanya dengan jiwa kesemestaan, seorang mahasiswa akan memiliki sikap benchmark yakni sikap mahasiswa yang memiliki patokan atau tolak ukur. Dengan sikap benchmarking, mahasiswa dapat menilai atau membandingkan sesuatudengan yang lain dan dapat membuat standar yang dijadikan sebagai pembanding antara satu hal dengan lainnya yang sejenis. 

Dengan demikian seorang mahasiswa akan memiliki patokan tentang, kualitas dirinya. Hal ini akan memacu tumbuhnya sikap competitiveness yaitu tekad untuk bersaing dengan lain dalam rangka meningkatkan daya saing dirinya. Dengan demikian, mahasiswa tidak seperti katak di bawah tempurung yang dia pikir dia hebat, padahal masih ada yang lain yang lebih hebat, masih ada langit diatas langit. Itulah pentingnya nilai kesemestaan pada diri mahasiswa.

Penutup
Itulah sekelumit pemikiran tentang arti penting nilai keplangmerahan bagi mahasiswa, sekaligus sebagai pendorong atau sumber inspirasi bagi kampus untuk dapat mendirikan Palang Merah Mahasiswa yang didalam organisasi PMI dikenal dengan istilah Korps Suka Rela (KSR). 

Korps Suka Rela ini mempunyai hubungan organisatorik dengan Palang Merah Indonesia (PMI), dan dapat dibentuk di kampus-kampus dengan nama Korp Suka Rela (KSR) Unit perguruan tinggi masing-masing. Semoga Hari PMI ke 77 ini dapat dijadikan sebagai momentum dan pengungkit untuk pengembangan aktivitas kepalangmerahan di kampus-kampus dan terbentuknya Korps Suka Rela di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.

Dengan terbentuknya Korps Suka Rela di kampus kampus, maka nilai kepalangmerahan akan lebih dahsyat terinternalisasi dikalangan mahasiswa dan menjadi alat penggerak untuk meminimalkan fenomena kenakalan mahasiswa.

(Penulis Wakil Ketua Palang Merah Indonesia – Sumatera Utara, Anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sumatera Utara, Dosen S2-S3 FISIP USU & Ketua STIK-P Medan)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pentingnya Nilai Kepalangmerahan di Kalangan Mahasiswa

Oleh Dr. H. Sakhyan Asmara, MSP

Palang Merah Indonesia, organisasi nirlaba yang pergerakannya fokus di bidang kemanusiaan dan kesukarelawanan.

Tanggal 17 September tahun ini genap berusia 77 tahun, berdiri tepat satu bulan setalah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Nilai kepalangmerahan sangat perlu diinternalisasikan di kalangan mahasiswa, agar dapat mencegah fenomena kenakalan mahasiswa yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Organisasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah  muncul dari ide cerdas dan cemerlang seorang Henry Dunant, setelah menyaksikan dampak perang antara tentara gabungan Perancis-Italia dengan pasukan Austria tanggal 24 Juni 1859 di Solferino sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Lambordi, utara Italia.

Dalam pertempuran itu mengakibatkan  tewasnya sekitar 3.000 tentara Austria, 10.807 cedera, dan 8.638 lainnya hilang atau ditawan. Di pihak Perancis-Italia, sebanyak 2.492 tewas, 12.512 cedera, dan 2.922 hilang atau ditangkap.

Dunant berada di Solferino ketika sedang melakukan perjalanan ke Perancis untuk menemui Napolen III, Kaisar Perancis waktu itu. Dunant sangat prihatin menyaksikan akibat dari pertempuran itu, lalu mengambil inisiatif mengumpulkan warga setempat untuk memberi bantuan kepada para korban perang di kedua belah pihak, tanpa pandang bulu.

Inilah awal lahirnya organisasi internasional Komite Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah  (International Comittee of the Red Cross, ICRC) yang berbasis di Jenewa, Swiss.

Organisasi ini kemudian berkembang di seluruh dunia dan menjadi sebuah organisasi bebas politik yang orientasinya fokus kepada kemanusiaan dan kesukarelawanan.

Dalam perkembangannya Palang Merah Internasional kemudian memiliki Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau International Federation of Red Cross dan Red Crescent (IFRC) yang pada prinsipnya berfungsi sama sebagai organisasi kemanusiaan dan kesukarelawanan, bersifat netral tanpa keberpihakan kepada siapapun dalam memberikan bantuan.

Karena besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat internasional akan kehadiran Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, maka tanggal kelahiran Jean Henry Dunant 8 Mei dijadikan sebagai Hari Palang Merah Internasioal.

Dunant lahir di Jeneva Swis 8 Mei 1828  dan meninggal dunia  30 Oktober 1910.

Di Indonesia

Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah hadir pada masa kolonial Belanda, disebut dengan Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indië (NERKAI) yang kemudian dibubarkan pada saat Jepang berkuasa di Indonesia.

Pelopor berdirinya Palang Merah di Indonesia adalah Dr. R.C.L. Senduk dan Dr. Bahder Djohan. Di masa penjajahan Belanda dua tokoh ini membuat rancangan pembentukan Palang Merah Indonesia, namun mendapat penolakan pada saat sidang Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indië (NERKAI) tahun 1940.

Kemudian dalam masa penjajahan Jepang juga mengalami nasib sama, tetap ditolak kehadiran Palang Merah  Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka barulah upaya mendirikan PMI dapat diwujudkan.  Berawal dari  perintah Presiden Soekarno kepada Menkes RI Kabinet I Dr. Boentaran untuk mendirikan suatu badan Palang Merah Nasional. Dengan dibantu lima orang panitia yakni Dr. R. Mochtar sebagai Ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis dan tiga anggota panitia Dr. R.M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, dan Dr. Sitanala, maka Menkes RI waktu itu melakukan persiapan pemebentukan Palang Merah Indonesia. 

Tepat pada tanggal 17 September 1945 terbentuklah Palang Merah Indonesia yang hingga saat ini dikenal sebagai Hari Palang Merah Indonesia (PMI).

Hingga saat ini Palang Merah Indonesia telah memainkan peran sangat besar dalam membantu masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana maupun masalah-masalah sosial kemasyarakatan lainnya.


Di Sumatera Utara.

Di Sumatera Utara, PMI dibentuk tanggal 24 maret 1964 diketuai oleh PR Telaumbanua. Pada saat itu kondisi organisasi dan markas PMI masih sangat sederhana, namun tetap dapat menjalankan misi kemanusiaan dengan baik.

Saat ini PMI Sumatera Utara dipimpin Dr. H. Rahmat Shah yang sudah memasuki periode ke tiga. Di bawah kepemimpinannya, PMI mengalami kemajuan pesat.

Banyak prestasi  telah ditunjukkan, seperti terbangunnya Gedung Markas PMI yang represantatif, konsolidasi dengan kabupaten kota berjalan lancar,  pembinaan terhadap anggota dan relawan aktif dilaksanakan, pelatihan fasilitator Palang Merah Remaja (PMR), melakukan  tanggap bencana secara cepat dan tepat, memberikan pelayanan kesehatan dan sosial, menyiapkan posko-posko PMI pada saat lebaran dan tahun baru, melakukan beberbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi tentang kepalangmerahan, pembinaan Unit Donor Darah dan membantu ketersediaan darah  di PMI kabupaten/kota.

Selain itu dalam rangka membantu pemerintah mengurangi tingginya angka stunting, PMI Sumut bekerja sama dengan PT. Sibisa, memproduksi beras fortifikasi, yaitu beras bervitamin dengan nama “beras siamo”.

Banyak  kegiatan lain yang dilakukan secara aktif oleh PMI Sumut sehingga Ketua Umum PMI, H. M. Jusuf Kalla memberikan apresiasi dan menyebut PMI Sumut sebagai PMI terbaik karena melaksanakan program kerja secara tepat waktu dan tepat sasaran.

Dalam memperingati HUT PMI ke 77 tahun ini PMI Sumut melalui Ketua Panitia HUT PMI ke 77 Dato’ Said Aldi Al Idrus bersama-sama dengan anggota panitia lainnya, gencar melakukan kunjungan ke beberbagai perguruan tinggi guna merintis kerjasama atau memantapkan kembali kerja sama yang sudah terjalin sebagai salah satu upaya untuk  mengoptimalkan proses internalisasi nilai-nilai kepalangmerahan dikalangan mahasiswa.

Hal itu dilakukan dalam rangka merespons fenomena kenakalan mahasiswa yang dewasa ini cenderung mengkhawatirkan, sehingga upaya pemahaman tentang nilai-nilai kepalangmerahan dikalangan mahasiswa sangat perlu dioptimalkan.

Fenomena kenakalan mahasiswa
Bulan Agustus lalu kita dihebohkan dengan pemberitaan tentang pengidap HIV di kota Bandung yang menyebutkan hingga Desember 2021 terdapat 414 mahasiswa di Bandung mengidap HIV. Hal itu disebutkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung bahwa warga Bandung pengidap HIV sebanyak 5.943 orang, diantaranya 414 (6,97 persen) adalah para mahasiswa. Jumlah itu merupakan penyumbang terbesar pengidap HIV di kota Bandung.

Sementara itu Dewan Pengurus Pusat (DPP) Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena) menyebutkan bahwa 27% pengguna narkoba di Indonesia adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa,  Hal itu disampaikan dalam acara peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) yang disiarkan oleh Universitas Gunadarma TV, Sabtu 26 November 2021.

Besarnya angka penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa sangat dipengaruhi oleh dahsyatnya peredaran narkoba di Indonesia, yang disinyalir merupakan pasar terbesar peredaran narkoba di Asia.

Fenomena kenakalan lain yang melibatkan mahasiswa adalah peristiwa tawuran atau bentrok antar mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia. Tercatat sederetan informasi tentang peristiwa tawuran yang terjadi di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti yang dapat diakses melalui berbagai berita di media massa, media online maupun media sosial.

Fenomena kenakalan itu belum lagi ditambah dengan peristiwa penyimpangan seksual, hamil diluar nikah, pelecehan seksual dikalangan mahasiswa, serta berbagai fenomena kenakalan mahasiswa didalam kampus maupun diluar kampus. Banjir nya perilaku menyimpang dikalangan mahasiswa tentu membuat semua pihak prihatin, terlebih para orang tua.

Berbagai perguruan tinggi juga sudah berupaya melakukan langkah-langkah antisipatif dengan menerbitkan berbagai kebijakan guna menanggulangi fenomena kenakalan mahasiswa. Namun hingga saat ini, kita masih dirisaukan oleh fenomena kenakalan mahasiswa yang belum kunjung membuat hati menjadi tenang.

Suntikan berbagai nilai dan norma telah di upayakan pemerintah maupun perguruan tinggi dalam mengantisipasi kenakalan mahasiswa. Diantaranya adalah dengan menghidupkan berbagai Unit-unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), memberikan pencerahan tentang nilai-nilai agama, nilai-nilai etika maupun nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga nilai-nilai keterampilan seperti jiwa kewuirausahaan, jiwa kesamaptaan, jiwa kepramukaan dan lain sejenisnya.

Salah satu nilai yang sangat perlu dipahami dan diinternalisasikan di kalangan mahasiswa adalah nilai kepalangmerahan yang menjunjung tinggi 7 (tujuh) prinsip dasar yaitu 1.Kemanusiaan (Humanity), 2. Kesamaan (Impartiality), 3.Kenetralan (Neutrality), 4.Kemandirian (Independence), 5.Kesukarelaan (Voluntary Service), 6. Kesatuan (Unity) dan 7.Kesemestaan (Universality). Tujuh nilai inilah sesungguhnya harus ditumbuhkembangkan dan diinternalisakan dalam diri mahasiswa agar dapat mencegah dan terhindar dari fenomena periilaku menyimpang atau kenakalan di kalangan mahasiswa.

Tujuh Prinsip Dasar Kepalangmerahan

Tujuh Prinsip Kepalangmerahan berdasar pada Tujuh Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang dikenal dengan istilah The Seven Fundamental Principles of The International Red Cross and Red Crescent Movement.

Arti penting tujuh prinsip dasar kepalangmerahan bagi mahasiswa adalah untuk membentuk jiwa dan karakter mahasiswa yang manusiawi, menjaga kebersamaan, bersifat netral dan fair, mandiri, berjiwa sukarela, mengutamakan semangat persatuan dan memiliki pandangan kesemestaan. Dengan demikian pandangan tentang kepalangmerahan, tidak hanya sebatas kepada soal donor darah, tanggap bencana, layanan kesehatan, tolong menolong dan lain sejenisnya namun lebih dari itu, nilai kepalangmerahan juga menyangkut pada pembentukan jiwa dan karakter manusia. Hal itu bisa dipahami dengan melihat secara lebih luas tujuh prinsip dasar keplangmerahan serta arti pentingnya bagi mahasiswa.

1. Kemanusiaan (Humanity),
Kemanusiaan merupakan sebuah sikap universal yang memiliki ciri melindungi dan memperlakukan manusia sesuai dengan hakikat manusia secara manusiawi. Dengan memegang teguh prinsip kemanusiaan, maka para mahasiswa akan dapat saling menjaga martabat dan fitrah manusia sebagai nilai azasi yang dimilikinya. Sehingga dengan demikian para mahasiswa sadar betul akan pentingnya nilai-nilai hak azasi manusia. Tumbuhnya sikap seperti ini, akan melahirkan semangat saling menghargai, menghindarkan diri dari pertikaian, perseteruan, sehingga mampu mengusung kedamaian didalam kehidupan kampus.

2. Kesamaan (Impartiality).
Nilai kesamaan mengandung makna tidak membedakan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama/kepercayaan, kelas sosial atau pandangan politik. Dari perspekstif kepalangmerahan, nilai kesamaan dimaksudkan sebagai tekad untuk mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan mendahulukan keadaan orang lain yang paling parah. Bagi mahasiswa nilai kesamaan ini menjadi penting karena kampus adalah pusat peradaban berkumpulnya berbagai kalangan, sehingga nilai-nilai kesamaan perlu diinternalisasikan pada diri mahasiswa agar suasana kebersamaan dan persaudaraan dapat terpupuk. Inilah modal dasar bagi terciptanya suasana kampus yang tenang, aman dan damai. Benar-benar menjadi tempat yang sejuk untuk menimba ilmu, sehingga kampus sebagai pusat pengembangan intelektualitas dapat terus terjaga dan dapat terus meningkatkab kompetensi dan daya saingnya.

3. Kenetralan (Neutrality).
Kampus sebagai sumber  kebenaran  harus dijaga netralitasnya. Ilmu bersifat netral, objektif dan universal. Kampus adalah tempat menimba ilmu, Oleh sebab itu insan kampus harus berpegang teguh kepada nilai-nilai kenetralan (neutrality). Mahasiswa sebagai salah satu insan kampus harus mampu berdiri diatas sikap netralitas agar mendapat kepercayaan dari masyarakat. Mahasiswa bersikap tidak berpihak kepada siapapun kecuali kepada nilai-nilai kebenaran. Dengan demikian akan lahirlah insan kampus calon-calon pemimpin bangsa yang berintegritas, bersikap fair dan adil. Inilah modal besar bagi bangsa untuk membangun negara yang adil dan makmur gemah ripah loh jinawi.

4. Kemandirian (Independence).
Kemandirian berarti mempunyai sikap mandiri, yakni mengandalkan kemampuan diri sendiri sebelum menggantungkan diri kepada orang  lain. Kemandirian berarti kesanggupan untuk berdiri sendiri dilandasi oleh sikap keberanian untuk bertanggungjawab atas segala tingkah laku dan mampu melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Kemandirian adalah kemampuan sesorang dalam berpikir, merasakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan kemampuan dan kepercayaan diri  sendiri daripada mengikuti orang lain. Sikap seperti ini sangat penting bagi mahasiswa, sebab mahasiswa adalah manusia yang berproses secara sosiologis masih berada dalam posisi marginal, yaitu ia belum sepenuhnya mampu meninggalkan masa-masa remaja dan belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan kehidupan orang dewasa. Disinilah terjadi proses mobilitas vertical yang apabila mahasiswa tidak mampu bersikap mandiri, mempercayai kemampuan dirinya sendiri, maka ia akan terombang ambing oleh kehidupan yang ada disekitarnya. Jika ia berada di sekitar orang-orang sesat, maka ia akan menjadi sesat, sebaliknya jika ia berada disekitar orang-orang yang benar, maka ia akan menjadi insan yang benar. Modal kemandirian inilah yang akan dibawanya ketika ia selesai kuliah, menjadi sarjana dan terjun ditengah-tengah masyarakat. Bila sikap kemandirian sudah ditempa pada saat seseorang masih duduk di bangku kuliah, atau dengan kata lain masih berstatus mahasiswa, maka akan mudah baginya untuk menjalani kehidupan pada saat ia masuk dalam posisi orang dewasa, yakni sudah mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, atau mampu mengandalkan ilmunya untuk mendapatkan pekerjaan yang baik demi menjamin masa depannya. Sikap kemandirian ini sekaligus menangkal dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Sikap kemandirian akan memicu mahasiswa untuk mengejar prerstasi, karena ia sadar bahwa ia tidak akan dapat hidup lebih baik tanpa memiliki kemampuan yang berarti dan dapat diandalkan.

5. Kesukarelaan (Voluntary Service)..
Prinsip Kesukarelaan ialah suatu sikap rela membantu orang lain tanpa berpikir untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Sikap voluntarisme atau kesukarelaan menjadikan kehendak berbuat untuk orang lain sebagai kunci dari segala yang terjadi dalam hidup manusia, sehingga ia mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri (altruistic). Sikap seperti inilah yang digambarkan oleh para cendekia dan kaum ulama sebagai suatu aturan emas etika, yang bernilai sangat mahal.

Bila sikap seperti itu terinternalisasi pada diri mahasiswa, maka akan muncul sifat solidaritas yang tinggi. Sifat seperti sangat penting artinya dalam pergaulan kemahasiswaan yang penuh dengan dinamika. Interaksi mahasiswa dalam berbagai kegiatan akademis dan kegiatan ekstra kurikuler, menyebabkan terjadinya persentuhan antar mahasiswa.

Proses interaksi ini bisa bernuansa positif dan bisa pula bernuansa negatif. Bila interaksi terjadi dalam nuansa yang menjurus negatif, pada saat itulah diperlukan sifat solidaritas dari para mahasiswa. Oleh karenanya jiwa kesukarelaan ini, akan mampu mencegah terjadinya gesekan antar mahasiswa, terjadinya tawuran antar mahasiswa dan lain sejenisnya. 

Dengan terbentuknya jiwa kesukarelaan pada diri mahasiswa maka akan terbangun motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran atau imbalan untuk dirinya.

6. Kesatuan (Unity)
Akar kata kesatuan adalah ‘satu’, artinya tunggal, tidak terpecah dan bersifsat utuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesatuan berarti perihal satu, keesaan, sifat tunggal, satuan.

Pengertian kesatuan tersebut mengandung makna bulat dan utuh. Hal ini menunjuk kepada suasana kekompakan, persahabatan dan persatuan. Kesatuan merupakan hasil dari persatuan yang telah menjadi utuh.

Dengan adanya nilai kesatuan, maka para mahasiswa dapat terhindar dari munculnya disintegrasi antar mahasiswa. Konsep mahasiswa satu almamater harus ditanamkan dalam diri mahasiswa, sehingga pergaulan antar mahasiswa lintas departemen, lintas fakultas akan dapat berjalan dengan baik, mesra, penuh rasa persaudaraan.

Makna kesatuan juga menunjuk kepada terbentuknya sikap satu bahasa, yang memberikan arti satu bahasa dalam memerangi kebodohan, memerangi kemiskinan, memerangi keterbelakangan dan juga memerangi perilaku menyimpang dikalangan mahasiswa sehingga fenomena kenakalan mahasiswa dapat ditekan serendah mungkin, bahkan kalau bisa dapat dihilangkan.

Sedangkan untuk pergaulan mahasiswa antar kampus, nilai kesatuan yang terinternalisasi pada diri mahasiswa akan membangun kesadaran berbangsa dan bertanah air, yakni satu sama lain merasa seperti saudara meski tidak sedarah, namun bisa menghilangkan perbedaan yang dapat menimbulkan pertentangan.

7. Kesemestaan (Universality),
Nilai kesemestaan mengandung arti berpandangan kosmopolit, yakni melihat sesuatu secara konprehensif integral, menyeluruh dan menyatu. lebih melihat hutan dari pada pohon.

Pandangan yang tidak sempit tapi meluas serta  mampu beradaptasi dalam semua sistem yang berlaku dilingkungannya. Seorang mahasiswa yang telah memiliki jiwa kesemestaan, akan berperilaku nondiskriminatif, sebab sudah memiliki cara pandang yang konprehensif.

Nilai universalitas atau kesemestaan ini juga sangat diperlukan bagi mahasiswa dalam menuntut ilmu. Harus disadari bahwa kampus bukan hanya berperan sebagai menara gading, melainkan juga menara api yang dapat memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru.

Oleh karenanya dengan jiwa kesemestaan, seorang mahasiswa akan memiliki sikap benchmark yakni sikap mahasiswa yang memiliki patokan atau tolak ukur. Dengan sikap benchmarking, mahasiswa dapat menilai atau membandingkan sesuatudengan yang lain dan dapat membuat standar yang dijadikan sebagai pembanding antara satu hal dengan lainnya yang sejenis. 

Dengan demikian seorang mahasiswa akan memiliki patokan tentang, kualitas dirinya. Hal ini akan memacu tumbuhnya sikap competitiveness yaitu tekad untuk bersaing dengan lain dalam rangka meningkatkan daya saing dirinya. Dengan demikian, mahasiswa tidak seperti katak di bawah tempurung yang dia pikir dia hebat, padahal masih ada yang lain yang lebih hebat, masih ada langit diatas langit. Itulah pentingnya nilai kesemestaan pada diri mahasiswa.

Penutup
Itulah sekelumit pemikiran tentang arti penting nilai keplangmerahan bagi mahasiswa, sekaligus sebagai pendorong atau sumber inspirasi bagi kampus untuk dapat mendirikan Palang Merah Mahasiswa yang didalam organisasi PMI dikenal dengan istilah Korps Suka Rela (KSR). 

Korps Suka Rela ini mempunyai hubungan organisatorik dengan Palang Merah Indonesia (PMI), dan dapat dibentuk di kampus-kampus dengan nama Korp Suka Rela (KSR) Unit perguruan tinggi masing-masing. Semoga Hari PMI ke 77 ini dapat dijadikan sebagai momentum dan pengungkit untuk pengembangan aktivitas kepalangmerahan di kampus-kampus dan terbentuknya Korps Suka Rela di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.

Dengan terbentuknya Korps Suka Rela di kampus kampus, maka nilai kepalangmerahan akan lebih dahsyat terinternalisasi dikalangan mahasiswa dan menjadi alat penggerak untuk meminimalkan fenomena kenakalan mahasiswa.

(Penulis Wakil Ketua Palang Merah Indonesia – Sumatera Utara, Anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sumatera Utara, Dosen S2-S3 FISIP USU & Ketua STIK-P Medan)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *