Potensi Ekonomis Kepiting dan Tren Perikanan Perkotaan dengan Budidaya Sistem Apartemen

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

MEDAN, DELITIMES.ID – Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas penting dan mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Potensi Indonesia sebagai salah satu produsen kepiting terbesar di dunia, berbanding lurus dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi.

Olahan kepiting merupakan salah satu kuliner yang digemari, banyak tersedia di berbagai tempat makan sea food, dengan harga yang relatif tinggi.

Kuliner kepiting saus tiram, kepiting saus padang, kepiting goreng mentega atau kepiting crispy adalah ssbagain dari banyak kuliner kepiting yang digemari, tak ayal ini juga membutuhkan bahan baku kepiting segar yang tiap hari harus dipasok ke pasar.

Belum lagi cerita ekspor, data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2021, kepiting – bersama rajungan menjadi salah satu komoditas ekspor perikanan utama Indonesia.

Selama lima tahun terakhir, permintaan kepiting-rajungan meningkat 5 persen per tahun.

Pada tahun 2020, nilai permintaan kepiting-rajungan dunia mencapai USD5,4 miliar dan ekspor Indonesia untuk komoditas ini baru mencapai 6,8 persen atau senilai USD367,5 juta.

Hal itu menunjukkan bahwa pasar komoditas ini masih terbuka dan potensial untuk terus dikembangkan, terutama bagi sektor budidaya yang juga menjadi fokus perhatian pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Lalu bagaimana peluangnya bagi pebisnis?

Tentu terbuka peluang besar pula bagi masyarakat yang ingin membuka usaha budidaya kepiting, tinggal menyesuaikan dengan kemampuan menyediakan modal sertabsarana dan prasarana terutama lahan untuk budidaya.

Nah, cerita lahan, selama ini orang terfokus pada kawasan pesisir dengan areal tambak untuk budidaya.

Padahal berbicara pembangunan perikanan, tidak melulu pada wilayah pesisir atau kepulauan lagi, tetapi juga pada wilayah pedesaan hingga perkotaan.

Selama ini tren pertanian perkotaan sudah digaungkan, untuk itu, tidak hanya bertani, perikanan di perkotaan pun sudah mulai menjadi tren masyarakat urban, termasuk budidaya kepiting. 

Sama pula dengan pertanian, tren perikanan di kota menjadi meningkat seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat perkotaan terhadap kebutuhan pangan yang berkuakitas, selain didukung semakin berkembangnya berbagai teknologi atau metode budidaya di lahan terbatas yang dapat diterapkan di wilayah perkotaan.

Konsep perikanan perkotaan secara sederhana adalah memindah perikanan konvensional ke wilayah perkotaan, yang memanfaatkan lahan terbatas dengan atau ruang untuk memproduksi hasil perikanan serta didukung inovasi teknologi.

Contoh yang banyak dilakukan belakangan ini seperti konsep budidaya ikan kolam terpal, akuaponik serta bioflok.

Lalu bagimana dengan kepiting bakau yang notabene habitatnya di air asin/payau?

Tren sekarang ini kalangan hobiis atau pengusaha mulai mengembangkan sistem vertical crab house atau yang pupuler disebut apartemen kepiting.

Apartemen kepiting mulai banyak dikembangkan di kota-kota, dengan pemanfaatan teknologi mengelola air dan ditempatkan di ruang terbatas namun dengan tingkat populasi tinggi.

Kepiting dipelihara di wadah-wadah berbentuk kotak, yang sederhananya menggunakan jerigen, disusun bertingkat dengan aliran air, dan tiap kepiting ditempatkan dalam wadah terpisah alias satu ekor per kotak sehingga mirip rumah apartemen.

Keunggulan sistem ini, selain tidak perlu lahan luas dan modal besar untuk pengadaan tambak, juga bisa dilakulan lebih intensif, serta gampang diawasi.

Dengan sistem apartemen, berarti sudah terhindar dari satu faktor terbesar penyebab kegagalan sistem konvensional, yakni faktor alam berupa banjir, tambak jebol, air limbah dan sebagainya.

Faktor terbesar penyebab kegagalan lainnya adalah kanibalisme serta kepiting gagal moulting (ganti cangkang).

Ya, kepiting adalah hewan kanibal. Di tambak alam, kita sulit mengindarkan antar kepiting saling memangsa, terutama di saat kepiting moulting karena itulah masa-masa terlemah mereka yang seluruh bagian tubuhnya menjadi lembek sehingga gampang dimangsa temannya.

Dengan siatem apartemen yang solitaire (ditempatkan terpisah), maka satu faktor penyebab kegagalan juga dihilangkan.

Tinggallah kita mencermati faktor pengelolaan air serta pakan, sehingga jika itu bisa dilakukan dengan baik maka keberhasilan serta keuntungan ada di depan mata.

Eko Hendra, dari Kelompok Tani Hutan Bakti Nyata di Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, sudah memulai usaha budidaya kepiting sistem apartemen ini.

“Diawali dengan ujicoba hanya sebanyak 12 boks atau 12 ekor yang ditempatkan dalam rumah, setelah dijalani dua bulan kami rasa hasilnya positif. Yang terpenting tingkat kematiannya rendah, terhitung kemarin kematian hanya sekitar 10 persen,” kata Eko yang mengaku belajar otodidak hanya dengan menonton tutorial di vidio Youtube.

Jumlah kematian sebesar itu dirasa masih sangat wajar, dibandingkan sejumlah metode yang pernah mereka lakukan mulai dengan membuat tambak alam serta menggunakan kerambah kotak bambu, tingkat kegagalannya jauh lebih tinggi.

Dari situ, Eko dan teman-teman di kelompoknya memutuskan untuk mengembangkan sistem apartemen ini.

“Saat ini kami sedang membuat rumah kepiting kapasitas 120 ekor, berikutnya mungkin akan ditambah bertahap,” ujarnya. (red)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Potensi Ekonomis Kepiting dan Tren Perikanan Perkotaan dengan Budidaya Sistem Apartemen

MEDAN, DELITIMES.ID – Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas penting dan mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Potensi Indonesia sebagai salah satu produsen kepiting terbesar di dunia, berbanding lurus dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi.

Olahan kepiting merupakan salah satu kuliner yang digemari, banyak tersedia di berbagai tempat makan sea food, dengan harga yang relatif tinggi.

Kuliner kepiting saus tiram, kepiting saus padang, kepiting goreng mentega atau kepiting crispy adalah ssbagain dari banyak kuliner kepiting yang digemari, tak ayal ini juga membutuhkan bahan baku kepiting segar yang tiap hari harus dipasok ke pasar.

Belum lagi cerita ekspor, data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2021, kepiting – bersama rajungan menjadi salah satu komoditas ekspor perikanan utama Indonesia.

Selama lima tahun terakhir, permintaan kepiting-rajungan meningkat 5 persen per tahun.

Pada tahun 2020, nilai permintaan kepiting-rajungan dunia mencapai USD5,4 miliar dan ekspor Indonesia untuk komoditas ini baru mencapai 6,8 persen atau senilai USD367,5 juta.

Hal itu menunjukkan bahwa pasar komoditas ini masih terbuka dan potensial untuk terus dikembangkan, terutama bagi sektor budidaya yang juga menjadi fokus perhatian pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Lalu bagaimana peluangnya bagi pebisnis?

Tentu terbuka peluang besar pula bagi masyarakat yang ingin membuka usaha budidaya kepiting, tinggal menyesuaikan dengan kemampuan menyediakan modal sertabsarana dan prasarana terutama lahan untuk budidaya.

Nah, cerita lahan, selama ini orang terfokus pada kawasan pesisir dengan areal tambak untuk budidaya.

Padahal berbicara pembangunan perikanan, tidak melulu pada wilayah pesisir atau kepulauan lagi, tetapi juga pada wilayah pedesaan hingga perkotaan.

Selama ini tren pertanian perkotaan sudah digaungkan, untuk itu, tidak hanya bertani, perikanan di perkotaan pun sudah mulai menjadi tren masyarakat urban, termasuk budidaya kepiting. 

Sama pula dengan pertanian, tren perikanan di kota menjadi meningkat seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat perkotaan terhadap kebutuhan pangan yang berkuakitas, selain didukung semakin berkembangnya berbagai teknologi atau metode budidaya di lahan terbatas yang dapat diterapkan di wilayah perkotaan.

Konsep perikanan perkotaan secara sederhana adalah memindah perikanan konvensional ke wilayah perkotaan, yang memanfaatkan lahan terbatas dengan atau ruang untuk memproduksi hasil perikanan serta didukung inovasi teknologi.

Contoh yang banyak dilakukan belakangan ini seperti konsep budidaya ikan kolam terpal, akuaponik serta bioflok.

Lalu bagimana dengan kepiting bakau yang notabene habitatnya di air asin/payau?

Tren sekarang ini kalangan hobiis atau pengusaha mulai mengembangkan sistem vertical crab house atau yang pupuler disebut apartemen kepiting.

Apartemen kepiting mulai banyak dikembangkan di kota-kota, dengan pemanfaatan teknologi mengelola air dan ditempatkan di ruang terbatas namun dengan tingkat populasi tinggi.

Kepiting dipelihara di wadah-wadah berbentuk kotak, yang sederhananya menggunakan jerigen, disusun bertingkat dengan aliran air, dan tiap kepiting ditempatkan dalam wadah terpisah alias satu ekor per kotak sehingga mirip rumah apartemen.

Keunggulan sistem ini, selain tidak perlu lahan luas dan modal besar untuk pengadaan tambak, juga bisa dilakulan lebih intensif, serta gampang diawasi.

Dengan sistem apartemen, berarti sudah terhindar dari satu faktor terbesar penyebab kegagalan sistem konvensional, yakni faktor alam berupa banjir, tambak jebol, air limbah dan sebagainya.

Faktor terbesar penyebab kegagalan lainnya adalah kanibalisme serta kepiting gagal moulting (ganti cangkang).

Ya, kepiting adalah hewan kanibal. Di tambak alam, kita sulit mengindarkan antar kepiting saling memangsa, terutama di saat kepiting moulting karena itulah masa-masa terlemah mereka yang seluruh bagian tubuhnya menjadi lembek sehingga gampang dimangsa temannya.

Dengan siatem apartemen yang solitaire (ditempatkan terpisah), maka satu faktor penyebab kegagalan juga dihilangkan.

Tinggallah kita mencermati faktor pengelolaan air serta pakan, sehingga jika itu bisa dilakukan dengan baik maka keberhasilan serta keuntungan ada di depan mata.

Eko Hendra, dari Kelompok Tani Hutan Bakti Nyata di Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, sudah memulai usaha budidaya kepiting sistem apartemen ini.

“Diawali dengan ujicoba hanya sebanyak 12 boks atau 12 ekor yang ditempatkan dalam rumah, setelah dijalani dua bulan kami rasa hasilnya positif. Yang terpenting tingkat kematiannya rendah, terhitung kemarin kematian hanya sekitar 10 persen,” kata Eko yang mengaku belajar otodidak hanya dengan menonton tutorial di vidio Youtube.

Jumlah kematian sebesar itu dirasa masih sangat wajar, dibandingkan sejumlah metode yang pernah mereka lakukan mulai dengan membuat tambak alam serta menggunakan kerambah kotak bambu, tingkat kegagalannya jauh lebih tinggi.

Dari situ, Eko dan teman-teman di kelompoknya memutuskan untuk mengembangkan sistem apartemen ini.

“Saat ini kami sedang membuat rumah kepiting kapasitas 120 ekor, berikutnya mungkin akan ditambah bertahap,” ujarnya. (red)

Bagikan :

Share on facebook
Share on twitter
Share on google
Share on telegram
Share on whatsapp
Share on email
Share on print

Related Posts

Berita Terkini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *