Oleh Dr. H. Sakhyan Asmara, MSP
Baru-baru ini terjadi peristiwa mengejutkan dengan tertangkapnya Rektor Universitas Lampung (Unila) dalam operasi tangkap tangan oleh KPK yang kemudian menetapkan dan menahan Rektor Unila Prof Dr Karomani bersama Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, Ketua Senat Muhammad Basri dan pihak swasta Andi Desfiandi sebagai tersangka kasus suap terkait penerimaan calon mahasiswa baru pada Unila tahun 2022, sebagaimana dilansir oleh berbagai media cetak, elektronik maupun media online.
Perstiwa itu amat mengejutkan sekaligus memalukan bagi kalangan Perguruan Tinggi Negeri khususnya yang melaksanakan penerimaan mahasiswa baru lewat jalur Mandiri.
(Tiga Jalur)
Penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri dilakukan dengan 3 cara yakni melalui jalur SNMPTN, SBMPTN dan Jalur Mandiri. SNMPTN merupakan singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang dilakukan dengan menggunakan nilai rapor serta prestasi non-akademik siswa selama sekolah.
Jalur ini biasa juga disebut dengan jalur undangan. Yakni Perguruan Tinggi Negeri menyampaikan surat undangan kepada para calon mahasiswa yang diusulkan oleh sekolah, diseleksi lalu kemudian dinyatakan diterima oleh Perguruan Tinggi Negeri.
Cara kedua adalah melalui jalur SBMPTN, singkatan dari Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. SBMPTN adalah seleksi yang memberi kesempatan bagi lulusan SMA/MA/SMK/MAK pada 3 tahun terakhir menggunakan pola ujian tertulis secara nasional berbasis komputer.
Ujian ini diselenggarakan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), yang merupakan satu-satunya lembaga penyelenggara tes perguruan tinggi berstandar di Indonesia.
Cara ketiga adalah lewat Jalur Mandiri. Seleksi Mandiri atau Ujian Mandiri adalah sistem penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia secara mandiri. Seleksi mandiri dilakukan setelah pengumuman SBMPTN.
Seleksi Jalur Mandiri diselenggarakan oleh masing-masing Perguruan Tinggi Negeri yang harus selesai dilaksanakan oleh masing-masing PTN paling lambat pada akhir bulan Juli tahun berjalan, dengan persyaratan dan mekanisme yang disesuaikan dengan ketentuan masing-masing perguruan tinggi.
Dalam proses seleksi mandiri, beberapa perguruan tinggi dapat menggunakan tes khusus, menggunakan nilai UTBK, nilai rapor, serta prestasi akademik maupun non-akademik sebagai nilai tambahan.
Jadi dalam seleksi mandiri, Perguruan Tinggi Negeri mempunyai otonomi seluas-luasnya untuk menentukan siapa yang berhasil lolos diterima dan siapa yang tidak diterima. Tentu peranan Rektor menjadi sangat dominan menentukan, sebab Rektor adalah penanggung jawab dalam setiap penerimaan mahasiswa baru di perguruan tingginya.
(Celah Penyimpangan)
Tes seleksi mandiri biasanya memang dilakukan dengan tertulis dan juga berbasis komputer yang hasil tesnya di periksa oleh sistem yang ditentukan dari masing-masing perguruan tinggi.
Sedangkan pada SBMPTN pemeriksaan hasil tes dilakukan oleh suatu Lembaga Nasional yang memiliki kompetensi dan diberi kewenangan untuk menentukan kelulusan calon mahasiswa.
Dalam jalur Mandiri otonomi kampus sangat besar untuk menentukan kelulusan calon mahasiswa. Disinilah timbul celah atau peluang terjadinya penyimpangan dalam proses penentuan kelulusan dengan menabrak norma proses seleksi yang harusnya bersifat fair dan objektif.
Apalagi pada fakultas-fakultas pavorite seperti Pendidikan Dokter, Teknik, Ekonomi dan sebagainya. Tentu para orang tua berusaha mencari jalan bagaimana cara supaya anaknya bisa lulus dalam penerimaan melalui seleksi mandiri.
Seiring dengan itu, bisa pula muncul pihak ketiga seakan-akan bertindak menjadi perantara atau calo yang mengaku dapat mengurus kelulusan calon mahasiswa, seperti yang terjadi di Unila, ada pihak swasta yang ikut ditangkap.
Besar kemungkinan pihak ketiga itulah yang memainkan peran sebagai perantara atau calo antara oknum di PTN dengan para orang tua calon mahasiswa. Tentu saja proses kelulusan itu tidak dengan tangan kosong, melainkan dengan iming-iming tertentu, seperti di Unila ada iming-iming uang antara 100 juta sd. 350 juta per mahasiswa, dengan kata lain sesungguhnya telah terjadi peristiwa suap-menyuap sehingga para pelakunya bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sementara pemberi suap dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Mengapa proses penerimaan lewat jalur mandiri bisa diatur sedemikian rupa sehingga kelulusan calon mahasiswa bisa ditentukan oleh pemegang otoritas tertinggi Kampus. Sebab pada saat selesai pelaksanaan seleksi terdapat jeda waktu untuk menghitung nilai ujian dan menentukan calon-calon mahasiswa yang dinyatakan lulus.
Jeda waktu itulah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum PTN untuk “diperdagangkan” melalui perantara pihak ketiga yang dapat memberikan “iming-iming” kepada oknum di PTN.
Dengan adanya jeda waktu antara seleksi dengan waktu pengumuman, maka dalam proses penghitungan nilai ujian calon mahasiswa dan penetapan kelulusan calon mahasiswa, dipastikan ikut campur tangan pemegang otoritas tertinggi kampus dalam hal ini Rektor besarta oknum pimpinan PTN yang berkaitan tugasnya dengan proses penerimaan mahasiswa baru, serta oknum lainnya didalam PTN yang dilibatkan dalam proses penerimaan mahasiswa baru.
Otoritas dan kewenangan inilah yang disalahgunakan sehingga proses penerimaan mahasiswa baru lewat jalur mandiri bisa di “perdagangkan”.
Jika proses penerimaan melalui jalur mandiri berlaku sama di setiap Perguruan Tinggi Negeri, pertanyaannya ialah apakah penyimpangan itu hanya terjadi di Universitas Lampung. Atau sebenarnya peristiwa Unila adalah hanya pucuk gung es dari peristiwa serupa yang sebenarnya terjadi di berbagai Perguruan Tinggi Negeri. Semoga saja tidak.
(Perlu Merombak Sistem)
Untuk menjaga objektivitas dan penilaian yang fair dalam proses penerimaan jalur mandiri, maka yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan sistem CAT (Computer Assisted Test) yakni metode seleksi menggunakan software dengan alat bantu komputer seperti digunakan dalam proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk mendapatkan standar minimal kompetensi dasar bagi pelamar.
Metode yang sama juga diterapkan dalam Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) sehingga tidak ada disana tawar menawar. Yang terjadi adalah siapa yang bisa menjawab dengan benar dan memperoleh nilai baik, maka dialah yang dinyatakan lulus.
Metode seperti itu hendaknya diterapkan dalam proses seleksi penerimaan calon mahasiswa baru lewat jalur mandiri. Sistem CAT dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu ambang batas nilai kelulusan (passing grade) pada tiap materi tes.
Pada sistem ini para peserta ujian langsung dapat mengetahui hasilnya setelah selesai ujian. Bagi yang tidak memenuhi ambang batas nilai kelulusan untuk satu materi ujian, maka calon mahasiswa langsung mengetahui apakah dia berhasil atau tidak.
Jika terdapat dua atau lebih materi tes, maka dapat dilakukan pembobotan pada tiap materi tes untuk menetukan nilai akhir dan menetapkan rangking nilai. Seorang peserta seleksi dinyatakan lulus apabila nilai rangkingnya masuk dalam kuota yang ditentukan dari tiap-tiap program studi yang dipilihnya.
Dengan sistem ini maka tidak ada lagi jeda waktu yang bisa dimanfaatkan untuk mengubah nilai calon mahasiswa sehingga ia masuk dalam rangking kelulusan. Dengan sistem ini juga dapat terjaga objektivitas dan fairness dalam menentukan kelulusan. Tidak ada celah untuk bisa bermain, tidak ada tawar menawar kecuali dengan kemampuan calon mahasiswa itu sendiri.
Bagaimana dengan nasib anak kandung dari Pimpinan PTN atau Dosen/Pegawai PTN bersangkutan. Apakah bisa memperoleh fasilitas dispensasi. Jawabnya adalah bisa, selama anak tersebut masuk dalam ambang batas kelulusan. Sebab bisa saja jumlah peserta seleksi yang masuk dalam ambang batas kelulusan, melebihi dari jumlah kuota yang disediakan pada setiap prodi, maka nilai rapor dan prestasi non-akademik siswa selama sekolah serta latar belakang keluarga ikut menentukan menjadi bagian dalam proses penetapan kelulusan calon mahasiswa melalui jalur Mandiri.
(Penutup)
Peristiwa Unila hendaknya benar-benar menjadi pelajaran bagi seluruh PTN dalam proses penerimaan mahasiswa baru, khususnya melalui jalur mandiri. Semua berharap kiranya peristiwa Unila adalah peristiwa pertama dan yang terakhir bagi PTN dalam melaksanakan penerimaan mahasiswa baru.
Cukuplah kapitalisasi terjadi dalam dunia perdagangan dan mungkin dalam sistem rekrutmen pejabat seperti terjadi di beberapa daerah dan akhirnya juga ditangkap KPK.
Janganlah iklim kapitalisasi terjadi di perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran kepada para mahasiswa, calon pemimpin bangsa yang seharusnya berpegang teguh kepada integritas, kualitas dan kredibilitas.
(Penulis Pengamat Kebijakan Publik, Dosen S2 dan S3 FISIP USU, Ketua STIKP Medan, Anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat – FKDM Sumatera Utara)