Oleh : Eko Hendra
DELITIMES.ID – Dalam perjalanan waktu, kita sering mendengar kasus-kasus kerusakan dan pengrusakan hutan mangrove. Pengrusakan hutan mangrove lebih banyak akibat alih fungsi menjadi tambak, permukiman, industri, dan perkebunan. Bukan itu saja, tapi pengrusakan juga akibat pembalakan liar; kayu mangrove dicuri untuk dijadikan material bangunan, kapal, arang, dan kayu bakar.
Ada pula kasusnya, dalih-dalih pembangunan termasuk yang katanya untuk kebutuhan penataan dan perluasan objek wisata, tanpa ada aspek pertimbangan serta perencanaan yang tepat, konon lagi si pelaku tidak punya izin atau hak mengelola hutan mangrove sebagaimana yang disyaratkan.
Walau pula tak bisa dipungkiri, kerusakan bisa juga akibat faktor alam yang tak mungkin dikendalikan, semisal air pasang, abrasi akibat tekanan ombak, angin kencang dan sebagainya.
Sering kita membaca berita, penyidik Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan tersangka pelaku perambahan kawasan hutan mangrove. Tersangkanya siapa? Bisa beragam, mulai dari pejabat instansi, pengusaha tambak, pengusaha wisata, pengusaha penyewaan (rental) dan bengkel alat berat, hingga aparatur desa dan kepala desa!
Kepala desa? Ya, banyak kejadian seperti itu, bahwa kepala desa ikut terlibat dalam kasus-kasus pengrusakan hutan. Dalam tulisan ini saya sertakan tangkapan layar berita-berita yang menyatakan oknum kepala desa terlibat dalam pembalakan hutan, bukan cuma mangrove ya tapi juga hutan kayu lain.
Modusnya macam-macam, mulai dari terlibat langsung, memberi izin, atau tutup mata alias pura-pura tidak tahu dengan kegiatan pengrusakan tersebut.
Ada kalanya, seorang pemangku jabatan di desa berkoar punya program nyata untuk pemberdayaan hutan mangrove. Namun sayangnya, terkadang mereka menerabas aturan, bahwa ada ketentuan dan cara dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut yang disyaratkan undang-undang.
Contoh yang sering terjadi; dalam penggunaan alat berat semisal excavator. Ada aturan tertulis bahwa penggunaan alat berat dalam kawasan hutan lindung atau hutan konservasi diharamkan.
Ada pengecualian untuk itu? Ada, namun butuh kebijakan tingkat penentu dalam hal ini pejabat terkait kehutanan di tingkat atas, yang bisa memberi pengecualian, semisal untuk upaya penanggulangan kerusakan yang lebih besar atau lainnya.
Jadi, tidak bisa semata kebijakan setingkat kepala desa!
Syukurnya, Gakkum KLHK sejauh ini masih bekerja relatif profesional dalam pencegahan dan penindakan pengrusakan hutan mangrove.
Dalam banyak berita, Gakkum menjatuhkan hukuman terhadap pelaku perambahan dan pengrusakan lahan di kawasan hutan konservasi.
Mengutip Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK, Yazid Nurhuda, dalam satu pemberitaan, intinya bahwa pengrusakan lingkungan dan perambahan kawasan konservasi merupakan kejahatan serius yang menjadi perhatian KLHK, mengingat pentingnya ekosistem bagi masyarakat.
Menurutnya, penindakan yang dilakukan oleh Gakkum KLHK harus menjadi pembelajaran bagi pihak-pihak lainnya yang melakukan kegiatan pengrusakan lingkungan dan kawasan hutan di manapun.
Adapun acaman hukuman terhadap pelaku pengrusakan hutan konservasi sangat berat, mencapai 10 tahun pidana penjara dan denda pidana mencapai Rp 5 milyar, berdasarkan Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dalam Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 36 angka 17 Pasal 50 ayat (2) huruf a Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja.
Hukumannya bisa berlapis jika termasuk pengenaan huluman tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 3 Tahun dan paling lama 10 Tahun dan denda pidana paling sedikit Rp. 3 Milyar dan paling banyak Rp. 10 Milyar.
Pertanyaan sekali lagi, benar seriuskah pemangku kebijakan dan pengawasan pengelolaan hutan kita? Jangan-jangan di dalamnya masih ada yang ikut bermain.
Kita pegang pernyataan pejabat tadi, bahwa KLHK terus berkomitmen melakukan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan, tanpa pandang bulu. Saat ini Gakkum KLHK setidaknya telah melakukan 1.801 operasi pemulihan keamanan kawasan hutan dan lingkungan, dimana sebanyak 1.199 kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan telah dibawa ke pengadilan.
Lalu bagaimana pula dengan kita masyarakat, bagaimana dengan aparatur dan perangkat desa? Ayo jangan setengah-setengah dalam menerapkan aturan, jika tidak mau berujung pidana.
Jangan nanti ada lagi berita, oknum aparatur desa terlibat kasus pengrusakan kawasan hutan mangrove. Mudah-mudahan semua pihak konsekwen dalam bingkai pelestarian. #
* Penulis adalah Redaktur Pelaksana DeliTimes.id, Wakil Sekretaris SMSI Kota Medan, juga aktivis pemberdayaan ekosistem mangrove di Deli Serdang.
(Foto hanya ilustrasi)