Oleh: Eko Hendra *)
DELITIMES.ID – Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) merupakan usaha desa yang dikelola oleh pemerintah desa, dan berbadan hukum. Pemerintah desa dapat mendirikan Bumdes sesuai kebutuhan atau potensi desa, dan pembentukan Bumdes ditetapkan dengan peraturan desa.
Kepengurusan Bumdes terdiri dari pemerintah desa dan masyarakat desa setempat. Sedangkan permodalannya dapat berasal dari pemerintah desa, tabungan masyarakat, bantuan pemerintah, pinjaman, atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.
Dalam tulisan ini kita ingin mencermati tentang permodalan Bumdes, tata kelola modal, pemanfaatan serta pertanggungjawaban. Karena membahas tentang itu, mau tak mau kita akan bicara tentang banyak kasus dari berbagai daerah, dimana pengurus Bumdes serta perangkat desa terjerat kasus yang berujung pidana.
Persoalan di negara gemah ripah loh jinawi ini memang masih berkutat pada hal-hal berbau koruptip, selain pengelolaan yang tidak profesional atau tidak terwujudnya prinsip keterbukaan informasi bagi publik. Ujung-ujungnya adalah kecurigaan, yang berlanjut pada aduan dan untutan.
Saya tidak mau mengarahkan imej bahwa umumnya Bumdes buruk dalam tata kelola keuangan, walau pada kenyataannya berita-berita tentang itu berseliweran. Karena dari pengalaman berbicara dengan sejumlah pengurus Bumdes, mereka itu punya dasar niat untuk berbakti atau mengabdi kepada desa mereka, dan ingin memunculkan potensi desa jadi satu peluang peningkatan ekonomi masyarakat. Wallahu a’lam.
Toh, banyak juga Bumdes yang berhasil dalam pengelolaan usahanya sehingga bisa memberi pendapan asli desa (PAD), seperti yang pernah saya baca tentang kisah sukses satu desa di kawasan Pujon, Malang, Jawa Timur, sehingga dari usaha kelola wisatanya yang beromset miliaran rupiah bisa membayari iuran BPJS warga satu desa.
Atau yang saya kutip dari laporan Gemari.id (12 Oktober 2021) tentang contoh-contoh Bumdes lain yang sedang tumbuh subur di desa-desa se-Indonesia.
Yang pertama dicontohkan adalah Bumdes Tirta Mandiri Desa Ponggok, Jawa Tengah, yang dinobatkan sebagai Bumdes terbaik. Dan sekaligus sebagai Bumdes dengan usaha yang memiliki omset mencapai Rp 10.36 miliar dengan laba bersih Rp 6,5 miliar dari pengelolaan wisata air hingga supernarket.
Contoh kedua Bumdes Multianggaluku Mandiri Desa Kalukubula, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya melalui usaha toko penyaluran barang barang bersubsidi dari pemerintah.
Tapi mengabdi (atau berbisnis?) di Bumdes bisa berarti juga memposisikan satu kaki di penjara. Mengapa begitu?
Harus diingat, penyalahgunaan uang (korupsi) bukan cuma faktor niat atau kesengajaan, namun juga karena faktor ketidaktahuan, ketidakcermatan, ketidakhati-hatian, misadministrasi atau kurangnya transparansi.
Membaca satu berita di pab-indonesia.co.id (9 Juli 2022) dimana LSM Penjara Sumut menyoroti Bumdes Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deliserdang, soal rendahnya tingkat akuntabilitas dan layanan informasi, sehingga ditengarai sarat dengan penyimpangan.
Gara-garanya soal layanan informasi, soal infografis APBDes yang belum terpampang, begitu juga layanan informasi Bumdes sama sekali tak ada.
Kesimpulan dari berita tersebut, LSM Penjara menyatakan adanya dugaan kuat penyalahgunaan dana desa, sehingga kepada pengelola Bumdes diimbau agar berhati-hati.
Dari contoh kasus ini, ada baiknya inspektorat di daerah serius mengaudit laporan pertanggungjawaba penggunaan dana desa atau APBDes termasuk yang untuk Bumdes tersebut.
Juga LSM, media, organisasi bahkan warga sendiri bisa mengambil peran untuk mengamati, mengkritisi bahkan bila perlu menyoal jika menemukan kejanggalan dalam pengelolaan dana desa atau Bumdes.
Menyitir pernyataan pengurus LSM Penjara, “Kalau BUMD seperti Direktur PDAM Tirtanadi dapat dipenjara, kenapa direktur di Bumdes tidak, karena sama-sana mendapatkan sumber penyertaan modal yang sama. Sama-sama dari keuangan negara.” Nah..!
Melalui tulisan ini pula, saya ingin mengajak warga desa untuk peduli dengan akuntabilitas dana desanya, termasuk yang digunakan untuk penyertaan modal Bumdes.
Kebanyakan warga desa buta tentang seluk beluk anggaran, tahunya hanya sebatas kerja, gotong-royong, diberi upah harian, lalu tak pernah tahu apalagi mau bertanya tentang jumlah dana yang diterima, dana yang keluar, keuntungan, bagi hasil, atau malah kerugian dari akibat usaha yang dilakukan Bumdes.
Tak tahu pula soal status lahan yang dijadikan tempat usaha, perjanjian sewa-menyewa, bagi hasil, atau status aset setelah pengadaan.
Apalagi jika masyarakat tidak pernah mendapatkan sosialisasi, edukasi, tentang apa itu Bumdes dan bagaimana itu Bumdes.
Padahal, tanpa disadari, dengan adanya penyertaan dana desa, apalagi bantuan dari pihak ketiga yang didasarkan masyarakat, ada uang warga desa di situ. Kalau saya mengibaratkan, warga adalah bos, komisaris, yang mungkin secara struktural diwakilkan kepada kepala desanya.
Jenis Usaha
Kita sudah membahas tentang gambaran umum Bumdes, serta resiko-resiko dalam pengelolaannya. Tapi ada baiknya juga, kita telaah mengenai peluang usaha yang mungkin dilakukan Bumdes, dan bagaimana sebaiknya pengelolaannya.
Contoh pertama jenis usaha yang bisa dilakukan Bumdes adalah bisnis sosial/serving. Yakni melakukan pelayanan pada warga sehingga warga mendapatkan manfaat sosial yang besar, pada model usaha seperti ini Bumdes tidak menargetkan keuntungan atau profit melainkan lebih ke sosial atau pemberdayaan lingkungan. Jenis bisnis ini seperti pengelolaan air minum, pengolahan sampah dan sebagainya.
Kedua, keuangan/banking. Bumdes bisa membangun lembaga keuangan untuk membantu warga mendapakan akses modal dengan cara yang mudah dengan bunga semurah mungkin. Selain mendorong produktivitas usaha milik warga dari sisi permodalan, jenis usaha ini juga bisa menyelamatkan nasib warga dari cengkeraman rentenir.
Contoh umum lainnya adalah perdagangan/trading, penjualan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat yang selama ini tidak bisa dilakukan warga secara perorangan. Misalnya, Bumdes mendirikan pom bensin bagi kapal-kapal di desa nelayan, serta pabrik es.
Usaha bersama/holding, adalah hal lain yang disarankan bagi Bumdes. Bumdes bisa membangun sistem usaha terpadu yang melibatkan banyak usaha di desa, misalnya mengelola wisata desa dan membuka akses seluasnya pada penduduk untuk bisa mengambil berbagai peran yang dibutuhkan dalam kegiatan usaha wisata itu.
Masih banyak contoh lain, seperti menjadi kontraktor, bisnis penyewaan misalnya gedung, alat pesta, traktor dan sebagainya. Bisa juga menjadi lembaga perantara/broker bagi komoditas yang dihasilkan warga untuk mendapatkan pasar yang lebih luas.
Namun harus diingat, hal terpenting adalah Bumdes tidak boleh mematikan potensi usaha yang sudah dijalankan warga desanya. Usaha Bumdes juga harus memiliki kemampuan memberdayakan kesejahteraan banyak orang. Ini yang disebut sebagai asas subsidiaritas.
Misalnya, di desa yang sebagian besar warganya menghasilkan ikan asin, Bumdes tidak boleh membangun usaha pengolahan ikan asin sendiri, melainkan mengambil peran lain dalam rantai produksi warganya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat saya simpulkan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah desa membentuk dan mengelola Bumdes. Pertama sumber daya alam yang dimiliki, dan apakah selama ini sudah diolah sedemikian rupa.
Kedua, faktor modal atau pendanaan untuk berbagai operasional hingga tercapai produktivitas yang tinggi. Tetapi sebelum rupiah dikucurkan, kepala desa harus yakin bahwa Bumdes telah menyusun business plan yang baik, sebagai pedoman bagaimana bisnis itu akan dijalankan.
Serta ketiga – ini faktor yang paling utama untuk keberhasilan Bumdes, yakni sumber daya manusia (SDM). Bagaimanapun, semua potensi itu bisa menjadi komoditas yang produktif atau tidak, tergantung pada SDM yang mengelolanya.
Manajemen Bumdes butuh SDM yang pintar dan visioner, itu pasti. Tapi, ada syarat lain yang lebih penting.
Mengacu pada persoalan utama yang sudah dibahas di awal – bahwa faktor utama yang menyebabkan banyak pengelola Bumdes atau pejabat desa menjejakkan kakinya di penjara, adalah faktor salah mengelola keuangan.
Ingat; jujur, amanah, akuntabilitas dan transparansi. Jangan sampai niat mengabdi, akhirnya malah dipenjara. #
*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana DELITIMES.ID, Wakil Sekretaris SMSI Kota Medan, juga aktivis pemberdayaan masyarakat desa/kawasan mangrove.
(Foto ilustrasi dari mbsnews.id)