Medan – Meski sudah hampir satu dekade diberlakukan, Perda No. 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Lingkungan (Kepling), serta Perwal No. 51 Tahun 2021 sebagai aturan teknisnya, masih menyisakan persoalan di lapangan.
Alih-alih menjadi pedoman jelas bagi kelurahan dan kecamatan, aturan ini kerap dijadikan celah oleh oknum tertentu untuk “main mata” dalam proses seleksi Kepling. Bahkan dalam beberapa kasus, Kepling yang tidak mendapat dukungan warga sesuai ketentuan justru tetap direkomendasikan menjadi pejabat lingkungan. Tak jarang pula, calon dari luar lingkungan yang sama sekali tak dikenal warga malah diloloskan.
Kondisi inilah yang menjadi sorotan Robi Barus, anggota Komisi I DPRD Medan sekaligus mantan Ketua Pansus pembentukan Perda tersebut.
“Peraturan ini jelas mengatur syarat minimal 30% dukungan warga bagi setiap calon Kepling. Kalau syarat itu tak terpenuhi, seharusnya tidak bisa ikut seleksi,” ujarnya. Robi juga menambahkan bahwa proses seleksi di kelurahan dipimpin panitia seleksi yang dibentuk lurah dan camat. Sayangnya, menurutnya, banyak panitia tidak menjalankan proses secara objektif.
“Kadang yang lolos itu karena ada ‘titipan’, bahkan ada kabar soal praktik suap. Kalau sudah begini, tak heran warga protes,” kata Robi dengan nada geram.
Ia juga mengingatkan bahwa calon Kepling wajib berdomisili di lingkungan tempatnya mencalonkan diri, lengkap dengan KTP dan KK, serta telah tinggal di sana minimal dua tahun. “Bukan seminggu pindah lalu langsung ikut seleksi,” tambahnya.
Menanggapi usulan sebagian warga agar Kepling dipilih langsung layaknya pemilihan wali kota, Robi menilai itu bukan solusi. “Medan punya 2.001 kepala lingkungan. Apa kita mau bikin pemilu mini sebanyak itu? Bisa habis energi dan dana,” ucapnya tegas.
Ia menilai sistem yang ada sekarang sudah cukup baik, asalkan dijalankan dengan benar. “Kalau semua aturan dijalankan sesuai mekanisme, tidak akan ribut. Tapi kenyataannya, masih ada intervensi dan kepentingan pribadi.”
Revisi Perda
Melihat banyaknya keluhan dan konflik di lapangan, Robi mengungkapkan Komisi I DPRD Medan tengah menggagas revisi terhadap Perda Kepling. Salah satu poin yang ingin diubah adalah masa jabatan Kepling yang dinilai terlalu pendek, dari 3 tahun menjadi 5 tahun, agar tidak terlalu rentan terhadap pergantian politik.
Ia juga membuka kemungkinan untuk meningkatkan syarat dukungan warga dari 30% menjadi 40% atau bahkan 50% plus satu suara, demi memperkecil potensi konflik dan memperjelas legitimasi calon. Namun ia menegaskan, meski bukan pemilihan langsung, proses pengumpulan dukungan warga tetap harus bisa dipertanggungjawabkan.
“Kalau warga sudah lama pindah ke daerah lain, seperti Deliserdang, tapi masih terdaftar sebagai warga Medan demi fasilitas, ya itu harus ditertibkan. Jangan sampai orang yang tak lagi tinggal di situ menentukan siapa Kepling-nya,” tegasnya.
Di akhir keterangannya, Robi berharap para lurah dan camat benar-benar menjalankan mekanisme yang ada dengan adil dan transparan. “Kita hanya minta satu: jalankan aturan yang sudah ada. Jangan nodai proses dengan kepentingan pribadi atau politik. Kalau mekanismenya dijalankan dengan benar, warga pun akan merasa dihargai,” pungkasnya. (ts)