MEDAN – Kepala Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Sumatera Utara, Sugiatmo, M.A., menerangkan wawancara adalah alat penting dalam jurnalistik untuk menggali informasi yang mungkin tidak dapat ditemukan di sumber tertulis.
“(Proses,red) ini bukan hanya tentang teknik, tetapi lebih kepada seni bagaimana kita berinteraksi dengan narasumber dan menuliskan informasi yang dibutuhkan secara etis dan efektif,” ungkapnya saat memberikan materi pada Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) di Hotel Grand Inna Medan, Selasa (24/9).
Diakuinya, wawancara membutuhkan langkah-langkah persiapan seperti memahami topik, menyusun pertanyaan yang tepat, dan memahami latar belakang narasumber. “Tehniknya adalah bagaimana kita menggunakan langkah-langkah tersebut dengan baik, termasuk cara berinteraksi dengan narasumber, bahasa tubuh, dan bagaimana menjaga aliran pembicaraan tetap natural,” jelasya.
Wartawan, katanya, saat menulis harus mempunyai ‘rasa’. Tulisan yang hanya berupa rangkaian kata tanpa emosi atau jiwa, sering kali terasa kosong. Penulis yang baik mampu menyisipkan karakternya dalam tulisan, sehingga pembaca dapat merasakan kejujuran dan pesan yang ingin disampaikan.
“Wartawan harus memiliki sikap yang tepat saat wawancara, seperti berpikir kritis, tidak memotong pembicaraan, dan menghindari pertanyaan ganda. Sikap menghargai narasumber sangat penting agar wawancara berjalan dengan baik dan mendapatkan informasi yang jujur,” urainya.
Selanjutnya, etika jurnalistik menuntut kejujuran. Wawancara fiktif adalah salah satu pelanggaran serius yang dapat merusak kredibilitas seorang wartawan dan media.
“Setiap penulis memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Ada yang bisa menulis secara spontan, ada juga yang butuh waktu dan proses yang panjang untuk menemukan judul atau tema yang tepat. Namun, yang terpenting adalah menulis dengan konsisten dan tidak tergantung pada penilaian orang lain,” imbuhnya. (ts)